Partai politik adalah salah satu pilar penting dalam demokrasi yang berfungsi sebagai wadah bagi masyarakat untuk memperjuangkan hak atau kepentingan politiknya. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 2011, yang berbunyi, "Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945." Jelas bahwa partai politik berperan penting dalam penyaluran aspirasi masyarakat.
Namun, perlu ditekankan juga bahwa orientasi politik partai politik seyogyanya berdasar pada ideologi. Sebab idelogi inilah yang akan memberikan gambaran jelas terhadap masyarakat mengenai orientasi politik suatu partai. Tapi saya perhatikan di Indonesia masih kurang jelas ideologi partainya, kecuali PDIP. Menurut saya PDIP masih cukup konsisten dengan nilai-nilai ideologis yang mereka bangun. Terlepas dari kontroversi di masyarakat, penolakan tim sepak bola Israel yang diutarakan oleh kader-kader PDIP dengan dasar ideologis dan konstitusi merupakan sebuah sikap kedisiplinan partai terhadap ideologinya.
Karl Marx dan Plato berpandangan bahwasanya Ideologi adalah Cultural Belief, yang dipergunakan oleh masyarakat untuk memberikan justifikasi konsepsi keadilan, kemerdekaan, dan sejenisnya. Tetapi di Indonesia, ideologi partai politik masih terbilang bias, sehingga kita sebagai masyarakat juga bingung dan tidak jelas patokan ideologisnya. Kalaulah misalkan jelas, maka kita akan mengetahui partai mana yang akan kita pilih berdasarkan basis ideologinya. Karena konsepsi-konsepsi ideologis partai itulah yang akan mencerminkan tendensi negara kedepannya.
Jika kita lihat fenomena partai politik di Indonesia, makin kesini makin kentara bahwa sebenarnya ideologi bukan lagi sesuatu yang penting bagi partai politik. Justru yang muncul adalah pragmatisme kekuasaan.
Kontras saja sekarang kita saksikan bagaimana PPP merapat atau berkoalisi dengan PDIP. Padahal dua partai ini secara ideologis sangat jauh berbeda. Ini seperti PDIP di Barat dengan pancasilaisme atau nasionalismenya, dan PPP di timur dengan agamisnya. Artinya bukan lagi ideologi yang mendasari sikap dan keputusan partai politik, melainkan pragmatisme kekuasaan.
Dengan mendominasinya pragmatisme kekuasaan, kualitas demokrasi menjadi pertaruhan yang serius, karena yang akan kita lihat hanyalah tentang siapa akan mendapat apa, bukan siapa memberikan atau menyuguhkan apa untuk bangsa ini.
Selain itu, kualitas dan disiplinitas kaderisasi dalam tubuh partai politikpun menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dipertanyakan. Salah satu indikator berkualitasnya partai politik adalah kedisiplinannya dalam melakukan kaderisasi. Partai politik harus mendelegasikan anggotanya yang benar-benar hasil dari pendidikan murni di internal partai, bukan tiba-tiba malah menggait selebritis yang hanya bermodal populer, tapi tidak pernah ikut serta bahu membahu menjalani proses pendidikan dan kaderisasi di partai politik.
Saya sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Fahri Hamzah di podcast Dedi Corbuzier, menurutnya, "popularitas itu racun dalam demokrasi. Metode orang untuk mengintroduksi diri semakin massif, popularitas itu bisa mengalahkan gagasan. Gimik-gimik tentang cara orang makan, cara orang menari di tiktok, kadang-kadang bisa lebih menarik dari pada pemikirannya." Dan memang dalam politik, gagasan adalah senjata, bukan popularitas. Biarlah gagasan itu yang menjadi populer, sehingga orang akan melihat gagasannya terlebih dahulu, bukan orangnya.
Dan baru-baru ini, muncul kembali gugatan mengenai masa jabatan ketua umum partai politik oleh saudara Saeful Salim dan Eliadi Hulu. setelah sebelumnya di tahun 2020, Ujang Komarudin (Pakar Politik Universitas Al-Azhar Indonesia) juga pernah melayangkan gugatan yang sama. Bahkan di tahun 2016, Â Jimly Assidiq yang merupakan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) juga pernah membangun wacana mengenai pembatasan masa jabatan ketum parpol, dan itu mendapat dukungan dari Siti Zahro (Peneliti senior LIPI). Basis argumentasi dari semuanya sama, yaitu demokratisasi partai politik.Â
Hampir semua parpol menanggapi gugatan tersebut dengan normatifitas yang sama, bahwa urusan masa jabatan ketum parpol itu menjadi urusan internal. Â Dan memang dimana-mana, di Amerika misal, atau bahkan di Norwegia yang menempati ranking pertama dalam Indeks Demokrasi di dunia sekalipun, masa jabatan ketum parpol menjadi kebijakan domestik partai. Meskipun setidaknya di Indonesia sudah ada 2 partai yang membatasi masa jabatan ketua umumnya selama 2 periode (10 tahun), yaitu PPP dan PKS.Â
Namun kecenderungan menuju otoriter dan berkembang biaknya dinasti dalam tubuh partai politik menjadi sorotan utama dalam hal ini. Jelas otoritarianisme dan dinasti secara ideologis bersebrangan dengan demokrasi, dan itu tidak bisa dibenarkan. Sebab bila suatu partai di dominasi hanya oleh satu atau beberapa tokoh saja, maka kemunculan tokoh-tokoh baru yang kompeten akan terhambat. Sehingga regenerasi tidak tersirkulasi dengan baik sebagaimana demokrasi seharusnya. Ini juga menjadi catatan, bila partai tidak melakukan reformasi internal, khususnya dalam hal revitalisasi dan regenerasi, maka jangan menyalahkan gugatan pembatasan masa jabatan ketum parpol. Gugatan itu timbul dari keresahan karena masyarakat melihat dan menilai bahwa ada yang tidak sehat di dalam tubuh partai politik.
Masalah lainnya juga mengenai perilaku anggota partai politik, seperti anggota korup, "minggat" janji, dan atau persoalan etik lainnya. Tidak sedikit anggota partai yang terjerat praktik korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Di samping itu, tidak sedikit pula anggota partai politik yang mempertontonkan sikap atau perilaku tidak etis di gelanggang publik. Sehingga suatu hal yang wajar apabila indeks kepercayaan terhadap partai politik berada di urutan paling bawah Bersama dengan DPR.
Setiap partai seharusnya lebih responsif terhadap fenomena permasalahan tersebut. Sebab itu akan sangat berdampak terhadap keberlangsungan partainya, sekaligus juga berdampak terhadap budaya dan kesehatan demokrasi. Sehingga mau tidak mau partai politik harus berbenah, melakukan evaluasi baik secara sistemik, maupun non-sistemik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H