Mohon tunggu...
Humaniora

Tiga Masalah Utama Islamisme

19 September 2017   12:04 Diperbarui: 19 September 2017   12:27 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : Pradipto Niwandhono

 Tulisan tentang Islam dan Islamisme sudah banyak ditulis. Sebagian besar dengan nada polemis, dan pasti mengudang polemik juga. Ini karena para penganutnya sendiri rata-rata menolak peristilahan ini. Dalam keyakinan mereka, apa-apa yang termuat dalam konsep 'Islamisme' atau 'Islam politik' itu merupakan satu kesatuan dan satu paket dengan ajaran Islam yang sifatnya universal dan holistik. Jadi konsep itu adalah produk sekularis yang sifatnya destruktif, untuk 'mempreteli' kesatuan agama Islam itu sendiri. Kira-kira sama dengan argumen dari golongan yang menyatakan bahwa anti-Zionisme pasti dimotivasi oleh anti-Semit, yaitu anti etnis Yahudi sekaligus tradisi agamanya (Judaisme). Bagi kaum Yahudi dan Kristen yang mendukung Zionisme tentunya menganggap bahwa dasar doktriner Zionis, yaitu perjanjian sakral antara Tuhan (Yahweh) dengan bangsa Ibrani mengenai tanah suci itu satu paket dari tradisi religius Yahudi

Kali ini saya ingin memaparkan sejumlah argumen yang biasa digunakan sebagai penolakan terhadap Islamisme. Meski demikian harap dipahami bahwa sikap anti terhadap ideologi tertentu harus dipisahkan secara tegas dengan prasangka terhadap pendukungnya. Anti Islamisme tidak harus selalu berujung pada Islamophobia. Toh, pada dasarnya tidak ada hubungan logis antara ideologi atau keyakinan dengan baik-buruknya karakter seseorang. Ada kalanya suatu gagasan yang tampak totalitarian dianut oleh seorang yang sesungguhnya memegang teguh prinsip kejujuran dan loyalitas. Di sisi lain tak tertutup kemungkinan ada seseorang yang secara ideologi tampaknya moderat dan terbuka, tetapi ia memiliki ambisi besar sehingga langkah apapun akan dilakukan untuk mencapainya sekalipun ia harus 'bermuka dua', dan sebagainya. Adanya perbedaan antara 'realpolitik' dan garis-garis batas aliran ideologi membuat kita harus kritis dan jernih melihat persoalan semacam ini.  

Politisasi Islam dan Islamisasi politik

Ini merupakan karakteristik dasar yang membedakan Islamisme dan Islam sebagai keyakinan pada umumnya, meski tidak diakui oleh penganutnya. Aspek yang paling bermasalah dari Islam politik tentu saja adalah idealisme untuk membentuk tatanan peradaban dan kenegaraan berdasarkan prinsip Islam. Hal ini tentunya berlawanan dengan aspirasi nasionalis akan negara nasional yang bersifat inklusif dan pluralis, tanpa pembedaaan atau pengistimewaan apapun atas dasar afiliasi religius dan etnisitas. Meski cenderung bertentangan, akan tetapi pada dasarnya orang Indonesia termasuk kaum yang paling nasionalis sekalipun sulit dan dilematis untuk menjalankan politik anti-Islamis secara total karena sejumlah faktor :

Pertama, meski berkembang sebagai gerakan trans-nasional, Islamisme merupakan 'kontributor' yang tidak dapat diabaikan dari ideologi anti-kolonial. Ia dianggap sebagai sumber nasionalisme Dunia Ketiga anti-kolonial disamping sosialisme ataupun Marxisme. Dalam hal ini faktor pendukung perkembangan Islamisme adalah keberadaan masyarakat-masyarakat berorientasi maritim dan komersial di pesisir. Komunitas-komunitas ini bukan saja disatukan oleh faktor religius (Islam), kebudayaan dan bahasa Melayu sebagai 'lingua franca', tetapi juga adanya persamaan kepentingan dalam menghadapi rival bersama : komunitas Cina dan kolonialis Eropa. Kenyataan bahwa Islam(isme) dan pendukungnya memiliki peran tersendiri dalam membentuk solidaritas lintas etnis dan memiliki tradisi anti-kolonial yang panjang adalah hal yang sulit diabaikan oleh kaum nasionalis.

Kedua, pada dasarnya Indonesia tidak pernah menyatakan diri sebagai negara sekuler, dan bahwa pengakuan akan nilai religius dianggap sebagai salah satu karakteristik peradaban 'Timur'. Kaum nasionalis sendiri berkepentingan dengan pembentukan citra diri yang berlawanan dengan identitas Barat, dan pemutusan dengan masa lalu kolonial dianggap sebagai indikator keberhasilan proses dekoloniasai sekaligus 'nation building' Indonesia itu sendiri. Akan tetapi pembasmian komunisme dan berakhirnya Perang Dingin telah menempatkan gerakan Islamis dalam posisi yang lebih kuat, sementara posisi kaum nasionalis sendiri menjadi lebih dilematis daripada sebelumnya.

Ketiga adalah adanya polarisasi, konflik internal dan perbedaan kepentingan di kalangan para politisi nasionalis itu sendiri yang kemudian menciptakan situasi yang menguntungkan bagi penguatan politik Islam..Jika pada tahun 1950-an kaum nasionalis sayap kiri berperan sebagai 'solidarity maker' sementara golongan nasionalis modernis dan Islam reformis menjadi elite teknokratik dan intelektual, maka situasi sekarang ini nyaris sebaliknya. Golongan nasionalis dan Islam moderat lebih berada dalam posisi intelektual dan pengelola negara, sementara kaum Islamis justru yang lebih sering tampil dalam peran yang dahulu dmainkan oleh golongan kiri. Orang-orang moderat lebih banyak berhenti pada tataran 'textbook thinking' daripada aksi konkret. Daripada sekedar melihat Habib Rizieq dan FPI-nya sebagai representasi Islam radikal, saya lebih cenderung melihatnya sebagai demagog baru yang ingin berperan sebagai 'solidarity maker' bagi komunitas muslim (ortodoks) dari aliran apapun, dan rivalitas politik yang ada sekarang memberi ia dan orang-orang sejenisnya 'panggung' untuk itu   

Takfirisme dan misi keagamaan yang 'ofensif'.

Indikator paling jelas dari menguatnya Islamisme -- dan menurut saya paling buruk -- ialah kecenderungan takfirisme atau konservatisme dalam misi (dakwah) dan pengembangan agama pada umumnya. Meski ada saja argumen bahwa jika tatanan politik dan peradaban Islam dapat diwujudkan maka tatanan itu akan mewujudkan masyarakat yang sempurna dan melindungi semua orang, nyaris tak ada petunjuk bahwa ide tersebut sesuai dengan kenyataan. Tentu saja Islam yang ada sekarang sangat berbeda dengan masa kekhalifahan di Abad Pertengahan yang menjadi pusat peradaban, dimana segala bentuk pemikiran -- meskipun berasal dari warisan Yunani dan Persia -- bebas berkembang (sementara Barat berada dalam 'Dark Age'-nya). 

Islam sekarang ini lebih banyak diwarnai oleh gagasan revivalis yang dalam banyak hal mengandung unsur 'resentment' atau motif 'balas dendam' atas kemunduran Islam, yang diasumsikan sebagai akibat dari penyimpangan di dalam komunitas Islam itu sendiri maupun dampak imperialisme Barat. Seperti halnya Yahudi dengan masalah anti-semitismenya maka di kalangan Islamis asumsi bahwa mereka merupakan korban (victim mentality) dan berada dalam bahaya, dimana hal ini sedikit banyak menjadi bentuk pembenaran diri untuk membangun sebuah ideologi politik-keagamaan yang lebih 'ofensif' dan cenderung tidak toleran.

Salah satu karakteristik yang paling mudah dilihat dari dakwah dengan karakter takfiri adalah berkembangnya "kajian lintas agama" semu yang lebih mengedepankan apologi daripada upaya serius untuk memahami perspektif keagamaan yang majemuk atau menemukan kesejajaran teologis antar masing-masing agama. Metode semacam ini ternyata sangat digemari di kalangan Islamis dan para pengusungnya menikmati popularitas luar biasa. Sebaliknya, pengkajian agama yang sebenarnya dan sedikit banyak menggunakan metode filsafat malah kurang populer kecuali hanya di kalangan intelektual. 

Beberapa tokoh yang dianggap otoritatif dan populer dari kalangan ini  seperti Nurcholish Madjid, M. Quraish Shihab, dan sebagainya justru dianggap sebagai representasi heretik dari Islam di Indonesia (dengan sebutan 'liberal' atau 'syiah' yang umum dilabelkan pada mereka)

Pada akhirnya implikasi dakwah yang mengandung muatan takfirisme adalah tersebarnya cara pandang intoleran terhadap unsur apapun yang dianggap tidak Islami. Tidak cukup dengan mengislamisasikan masyarakat pemeluk Islam itu sendiri, mereka juga menolak keyakinan, tradisi dan kebudayaan non-Islam apapun hadir ditengah-tengah mereka. 

Protes terhadap pendirian gereja, penghancuran patung-patung yang jelas lebih berfungsi sebagai ornamen dan tidak terkait dengan simbol kepercayaan, persekusi terhadap pengikut Islam 'heretis', atau pandangan terhadap tradisi lokal sebagai 'musyrik' adalah banyak diantara kasus yang kerap terjadi. Jika hal ini terus dibiarkan maka akan mengakibatkan eliminasi paksa terhadap berbagai kebudayaan asli Indonesia yang seharusnya dilestarikan dan dihargai. Bagi kaum nasionalis yang peduli dengan identitas Indonesia sebagai bangsa majemuk, gejala ini merupakan bahaya yang nyata.

Poligami dan (kecenderungan) misogisisme

Poligami khususya poligini -- perkawinan dengan lebih dari satu istri -- merupakan salah satu persoalan yang dianggap privat, sensitif, tetapi juga lebih ringan bobotnya dari kedua yang tersebut diatas. Ini karena setidaknya mayoritas perempuan yang biasanya Islamis untuk urusan-urusan agama dan politik, umumnya tidak sepakat bahkan cenderung kontra poligami karena kodrat manusiawinya. Tetapi di mata dunia sekular, praktek ini sering dianggap sebagai salah satu bukti 'keterbelakangan' Islam. Sebenarnya seperti apa hubungan Islam(isme) dengan praktek poligami atau 'politik-seksual' pada umumnya ?

Saya ingin menganalogikan bahwa hubungan antara poligami dan Islam itu hampir paralel dengan hubungan antara atheisme dan Marxisme (khususnya komunisme). Tentu saja praktek poligami jauh lebih tua dan tidak selalu berkaitan dengan Islam. Ia telah menjadi kebiasaan kaum aristokrat ataupun penguasa kerajaan di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Jawa dan Indonesia pada umumnya -- sebagaimana juga atheisme telah ada dalam pemikiran filosofis jauh sebelum adanya Marxisme. Meski demikian Islam dengan egaliarianisme-nya menjadikan poligami tampak aksesibel bagi semua orang (pria), meskipun dengan syarat mampu untuk 'adil'. 

Kenyataan bahwa Nabi Muhammad mempraktikkan hal tersebut -- meski dengan maksud menafkahi para janda pejuang Islam yang gugur, dan beliau tetap ber-monogami dengan istri pertama -- lebih mempertajam kesalahpahaman tentang praktek ini. Daripada menganggap dibolehkannya poligami sebagai perkecualian dengan alasan yang ketat, sebagian orang justru melihatnya sebagai 'sunnah' karena mengacu pada hal yang dipraktekkan Rasulullah sendiri. Sementara yang lain menunjukkan hal itu sebagai salah satu bentuk rasionalisasi terhadap Islamofobia.

Tentu saja kebanyakan orang laki-laki pendukung Islamisme tidak terlalu peduli dengan kompleksitas wacana seputar seksualitas Islam ini, dan justru itulah yang membedakan mereka dengan penganut Islam non-Islamis. Mereka bukan saja menganggap poligami (poligini) suatu sunnah tetapi juga secara umum menganut prinsip atau tafsir yang bias misoginis. Ajaran tentang konsep aurat khususnya bagi perempuan -- yang agaknya merupakan konsep umum dalam agama Semitik -- sedikit banyak membuktikan hal ini. 

Ada sebuah asumsi mendasar tentang tubuh perempuan (dan bukan laki-laki) yang merupakan sumber dosa seksual, oleh karena itu harus ditutupi dan diasingkan dari pandangan publik. Meski di kalangan perempuan itu sendiri tidak selalu menyadari atau mengabaikannya -- mereka melihat hijab sebagai kesadaran spiritual untuk taat pada perintah Ilahi, atau bahkan sebagai bentuk 'bela diri' dan perlawanan halus -- kaum lelakinya masih saja memandang perempuan pada umumnya sebagai makhluk inferior.

 Ada dugaan kuat bahwa preferensi sementara kalangan Islamis akan poligami dan sebagai konsekuensinya, kecenderungan untuk memiliki banyak keturunan adalah demi pengembangan Islam itu sendiri. Karena cara paling praktis untuk menanamkan doktrin agama adalah internalisasi dalam keluarga sebagai unit sosial terkecil dan pokok. Pada akhirnya dampak sampingan dari hal-hal ini mungkin tidak bersifat politis sama sekali meski tidak kalah serius : terjadinya overpopulasi sebagai pangkal dari banyak masalah-masalah kemanusiaan yang lebih besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun