Mohon tunggu...
Humaniora

Tiga Masalah Utama Islamisme

19 September 2017   12:04 Diperbarui: 19 September 2017   12:27 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu karakteristik yang paling mudah dilihat dari dakwah dengan karakter takfiri adalah berkembangnya "kajian lintas agama" semu yang lebih mengedepankan apologi daripada upaya serius untuk memahami perspektif keagamaan yang majemuk atau menemukan kesejajaran teologis antar masing-masing agama. Metode semacam ini ternyata sangat digemari di kalangan Islamis dan para pengusungnya menikmati popularitas luar biasa. Sebaliknya, pengkajian agama yang sebenarnya dan sedikit banyak menggunakan metode filsafat malah kurang populer kecuali hanya di kalangan intelektual. 

Beberapa tokoh yang dianggap otoritatif dan populer dari kalangan ini  seperti Nurcholish Madjid, M. Quraish Shihab, dan sebagainya justru dianggap sebagai representasi heretik dari Islam di Indonesia (dengan sebutan 'liberal' atau 'syiah' yang umum dilabelkan pada mereka)

Pada akhirnya implikasi dakwah yang mengandung muatan takfirisme adalah tersebarnya cara pandang intoleran terhadap unsur apapun yang dianggap tidak Islami. Tidak cukup dengan mengislamisasikan masyarakat pemeluk Islam itu sendiri, mereka juga menolak keyakinan, tradisi dan kebudayaan non-Islam apapun hadir ditengah-tengah mereka. 

Protes terhadap pendirian gereja, penghancuran patung-patung yang jelas lebih berfungsi sebagai ornamen dan tidak terkait dengan simbol kepercayaan, persekusi terhadap pengikut Islam 'heretis', atau pandangan terhadap tradisi lokal sebagai 'musyrik' adalah banyak diantara kasus yang kerap terjadi. Jika hal ini terus dibiarkan maka akan mengakibatkan eliminasi paksa terhadap berbagai kebudayaan asli Indonesia yang seharusnya dilestarikan dan dihargai. Bagi kaum nasionalis yang peduli dengan identitas Indonesia sebagai bangsa majemuk, gejala ini merupakan bahaya yang nyata.

Poligami dan (kecenderungan) misogisisme

Poligami khususya poligini -- perkawinan dengan lebih dari satu istri -- merupakan salah satu persoalan yang dianggap privat, sensitif, tetapi juga lebih ringan bobotnya dari kedua yang tersebut diatas. Ini karena setidaknya mayoritas perempuan yang biasanya Islamis untuk urusan-urusan agama dan politik, umumnya tidak sepakat bahkan cenderung kontra poligami karena kodrat manusiawinya. Tetapi di mata dunia sekular, praktek ini sering dianggap sebagai salah satu bukti 'keterbelakangan' Islam. Sebenarnya seperti apa hubungan Islam(isme) dengan praktek poligami atau 'politik-seksual' pada umumnya ?

Saya ingin menganalogikan bahwa hubungan antara poligami dan Islam itu hampir paralel dengan hubungan antara atheisme dan Marxisme (khususnya komunisme). Tentu saja praktek poligami jauh lebih tua dan tidak selalu berkaitan dengan Islam. Ia telah menjadi kebiasaan kaum aristokrat ataupun penguasa kerajaan di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Jawa dan Indonesia pada umumnya -- sebagaimana juga atheisme telah ada dalam pemikiran filosofis jauh sebelum adanya Marxisme. Meski demikian Islam dengan egaliarianisme-nya menjadikan poligami tampak aksesibel bagi semua orang (pria), meskipun dengan syarat mampu untuk 'adil'. 

Kenyataan bahwa Nabi Muhammad mempraktikkan hal tersebut -- meski dengan maksud menafkahi para janda pejuang Islam yang gugur, dan beliau tetap ber-monogami dengan istri pertama -- lebih mempertajam kesalahpahaman tentang praktek ini. Daripada menganggap dibolehkannya poligami sebagai perkecualian dengan alasan yang ketat, sebagian orang justru melihatnya sebagai 'sunnah' karena mengacu pada hal yang dipraktekkan Rasulullah sendiri. Sementara yang lain menunjukkan hal itu sebagai salah satu bentuk rasionalisasi terhadap Islamofobia.

Tentu saja kebanyakan orang laki-laki pendukung Islamisme tidak terlalu peduli dengan kompleksitas wacana seputar seksualitas Islam ini, dan justru itulah yang membedakan mereka dengan penganut Islam non-Islamis. Mereka bukan saja menganggap poligami (poligini) suatu sunnah tetapi juga secara umum menganut prinsip atau tafsir yang bias misoginis. Ajaran tentang konsep aurat khususnya bagi perempuan -- yang agaknya merupakan konsep umum dalam agama Semitik -- sedikit banyak membuktikan hal ini. 

Ada sebuah asumsi mendasar tentang tubuh perempuan (dan bukan laki-laki) yang merupakan sumber dosa seksual, oleh karena itu harus ditutupi dan diasingkan dari pandangan publik. Meski di kalangan perempuan itu sendiri tidak selalu menyadari atau mengabaikannya -- mereka melihat hijab sebagai kesadaran spiritual untuk taat pada perintah Ilahi, atau bahkan sebagai bentuk 'bela diri' dan perlawanan halus -- kaum lelakinya masih saja memandang perempuan pada umumnya sebagai makhluk inferior.

 Ada dugaan kuat bahwa preferensi sementara kalangan Islamis akan poligami dan sebagai konsekuensinya, kecenderungan untuk memiliki banyak keturunan adalah demi pengembangan Islam itu sendiri. Karena cara paling praktis untuk menanamkan doktrin agama adalah internalisasi dalam keluarga sebagai unit sosial terkecil dan pokok. Pada akhirnya dampak sampingan dari hal-hal ini mungkin tidak bersifat politis sama sekali meski tidak kalah serius : terjadinya overpopulasi sebagai pangkal dari banyak masalah-masalah kemanusiaan yang lebih besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun