Aku ingin lebih mengenalnya, tapi bukan dari orang lain lagi. Setiap kali ia bercerita, aku selalu menyimpan setidaknya satu memori tentang dia, tentang bagaimana liku-liku perjalanan hidupnya.
Lama-kelamaan, aku jadi semakin akrab dengannya. Â Mungkin beginilah rasanya memiliki kakak laki-laki. Bisa menikmati keseruan bersama, selalu ada yang mendukung dan siap sedia menjaga.
"Jadi, Kakak mau lanjut kemana?"
"Aku mau nyoba ikut seleksi masuk perguruan tinggi negeri"
Aku tidak mau banyak berkomentar, hanya sedikit bertanya mengenai tahap seleksinya.
Sejak saat itu, ia semakin jarang bertemu denganku karena sibuk mengurus berkas-berkas untuk keperluannya. Sayang, ia harus kehilangan satu mimpinya sehingga ia harus beralih mengikuti seleksi lain. Akhir-akhir ini, aku juga sering memergokinya sedang melamun. Satu-satunya hal terbaik yang bisa kulakukan adalah mendo'akannya. Do'aku mungkin tidak begitu kuat, tapi kita tidak tahu do'a siapa yang akan terkabul.Â
Di Ujung Penantian
Masa-masa terindah di SMA terhitung saat aku memasuki kelas dua, dimana segalanya terasa lengkap untuk mewarnai sebuah kisah klasik.
"Dia bakalan hadir gak ya?"
Bibirku mengerucut. Sayang sekali, padahal aku akan menampilkan sebuah drama musikal bersama teman-temanku sebagai perwakilan dari English Club. Kalau dia tidak sempat datang, mungkin karena sibuk. Lagipula, aku tidak suka memaksa seseorang untuk melakukan apa yang kumau. Alhasil, dia benar-benar tidak hadir.
Hingga suatu hari, ia datang ke Sekolah untuk menemuiku. Aku sempat menghabiskan waktu sekitar beberapa jam dengannya sebelum akhirnya ia mengucapkan,Â