* * *
Bagaimana? Pernah mengalami suasana seperti rapat di atas. Atau mungkin secara langsung pernah ngobrol dengan orang Bandung, Garut, Sumedang yang kental dengan sundanya?
Saya sering mendengar rekan kerja dari jawa (suku Jawa), ketika rapat mereka pun kadang secara spontan menggunakan istilah jawa seperti piye, monggo, wis lah, blas, embuh dan lainnya. Anehnya peserta rapat paham maksudnya.
Entah karena memang sudah familiar terdengar di kehidupan sehari-hari, atau mungkin karena kosakata/istilah tersebut hanya digunakan sesekali dengan tidak mengubah arti dan makna dari apa yang disampaikan.
Jadi, saya masih mencari-cari informasi, penggunaan Bahasa sunda yang seperti apakah, yang digunakan salah satu Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) ketika rapat dengan DPR, sehingga pak Arteria Dahlan (anggota Komisi III DPR Fraksi PDIP) meminta pak Kepala Kejaksaan Agung (Kajagung) untuk “menggantinya”, yang bagi beberapa netizen bahkan selevel Kang Ridwan Kamil mengganggap kata “mengganti” ini berarti memecatnya.
Kalau memang, ternyata pak Kajati menggunakan full bahasa sunda ketika bicara di forum rapat, saya kira pak Arteria sudah tepat memohon kepada Kajagung untuk menegurnya. Tapi, pun tidak secara arogan dengan “menggantinya”. Terlalu berlebihan.
Tapi kalau penggunaan bahasa sunda hanya pada istilah/kosakata tertentu, rasanya ini hal yang biasa terjadi dalam forum apapun. Terlebih bagi orang-orang yang masih kental dengan bahasa ibunya.
Andai seseorang, spontanitas menggunakan istilah/kosakata bahasa lokal dalam komunikasi formal, diminta untuk ditindak tegas, bagaimana dengan orang yang spontanitas menggunakan bahasa asing seperti yang biasa digunakan Anak Jaksel, yang justru ini kadang secara tak sadar digunakan banyak tokoh-tokoh nasional/para pejabat dalam berbagai forum?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H