Mohon tunggu...
Wana Darma
Wana Darma Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Suka daun bawang mentah, tapi tara suka yang matang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Klenteng 20000 Rupiah

20 Maret 2011   10:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:37 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pliket-Lengket-Panas, kami datang memang pada saat yang salah, saat matahari tepat diatas ubun-ubun. Tapi suasana itu mulai terhempaskan oleh bau dupa yang mulai memanggil. Otomatis saya berjalan-cepat mencari sumber bau. Tapi sayang, perjalanan saya harus dihentikan. Kombo papan bertuliskan 'Lokal = Rp. 20000' plus satpam berkumis tebal memaksa kami memutar balik, menghela napas, sembari misuh-misuh.

Setelah saya memposting catatan perjalanan ke tempat ini, ada beberapa teman berkomentar tentang keabsenan gua pada tulisan terakhir saya. 'Opo iki jal, maso ono gua ning kuil?', ya kira-kira itulah yang ada di benak saya. Setelah medapatkan info baru tersebut, saya menkonfirmasi ke teman-teman di kompasiana dan bertapa ke mbah gugel.

Saya melakukan kesalahan yang amat besar guys! Saya melakukan ibadah 'Judge by Cover' dan saya tidak melakukan ritual dasar 'Interact with the Locals!'. Alhasil saya melewati main-course dari tempat ini. Lima kuil, dua gua, satu relief, dan satu spot gaib berhasil saya lewati di depan mata saya. Keesokan harinya sayapun langsung menuju ke TKP.

--------------------------------------------------

Beda dengan kali pertama saya kesini. Sekarang cuaca sejuk menjadi teman, suara kicauan burung menjadi pengiring, dan senyum hangat dari bapak petugas kebersihan menjadi penyemangat saya untuk menjelajahi tempat ini. Kemudian, saya langsung menuju ke sumber bau dupa, ke main-course yang sempat kalau kata Sheila On7, Sempat Terlewatkan.

Oke, saya menuju ke area main-course. Kali ini saya melihat papan 'Lokal = Rp. 20000' sendirian, tanpa ditemani oleh satpam berkumis. Jadi saya langsung pasang muka tebal dan langsung ngacir ke Klenteng Utama. Di Klenteng Utama inilah saya bertemu dengan Pak Yono, dia hanya seorang manusia biasa yang bekerja di sini. Ya, mungkin dia bisa mengeluarkan tapak naga terbang. Mungkin.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Klenteng Utama"]

[/caption]

Klenteng Utama adalah Klenteng pemujaan Sam Poo Kong. Klenteng ini dibuat untuk mengenang jasa Laksamana Cheng Ho (Sam Poo Tay Djien). Cheng  Ho berasal dari Tiongkok, merupakan penjelajah (mungkin juga traveler) yang melakukan misi perdamaian ke Asia dan Afrika.

Kurang lebih seperti itulah yang dijelaskan oleh Pak Yono. Kemudian saya minta ijin untuk mengitari Klenteng Utama dan masuk ke gua. Kata beliau, kalo masuk ijin dulu ama yang disana, entah apa artinya. Ketika saya masuk ke gua lama, saya ngerti kenapa dia bilang gitu. Suasana di gua lama benar-benar spooky, ditambah instalasi lampu yang seadanya alias remang-remang, suasana spooky bertamba kental.

Klenteng Utama sebenarnya memiliki sebuah gua di tengahnya. Gua ini katanya dulu adalah tempat pertama kali Cheng Ho dan armadanya berlabuh, dan sekaligus menjadi tempat bertapanya dia. Di gua ini terdapat sumur yang airnya tidak pernah kering. Tapi, kemudian dibuatlah gua di belakang Klenteng Utama, karena gua aslinya sering terendam air ketika hujan. Air dari sumur gua lama juga sudah dialirkan ke gua baru.

Saya merasa puas sudah berputar di Klenteng Utama dan udah masuk ke gua lama. Tapi sayang, gua baru hanya boleh dimasuki oleh orang yang sembayang, tak boleh menggambil gambar pula. Tapi kita harus menghormati mereka yang beribadah, jadi sayapun berbalik arah dan menuju ke Pak Yono (lagi). Ternyata saya baru tahu kalau ada dua spot lagi disini, terletak di selatan Klenteng Utama. Spot ini terhalangi oleh pohon rimbun di selatan klenteng, jadi tidak kelihatan dari luar.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Kuil Kyai Jangkar (Luar)"]

[/caption]

Spot pertama adalah Kuil Kyai Jangkar. Walau Cheng Ho katanya keturunan muslim, tapi jangan membayangkan orang bersurban membawa tasbih. Kyai dalam Bahasa Jawa artinya yang disucikan, jadi kuil ini adalah Kuil tempat bernaung Jangkar yang disucikan. Kalau di Jogja mirip dengan Keris yang diberi gelar kyai di depannya. Di kuil ini terdapat tiga altar, yang paling kiri adalah altar Kyai Jangkar (ada jangkarnya), tengah ada altar nabi Kong Hu Cu, dan paling kanan adalah altar arwah Hoo Ping. Hoo Ping adalah arwah yang sudah tidak didoakan oleh keluarganya, mungkin karena keluarganya sudah jauh atau sudah tiada.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Kuil Kyai/Nyai Tumpeng"]

[/caption]

Spot kedua adalah Makam Kyai Mbah/Nyai Tumpeng. Saya spontan membayangkan tumpeng yang disucikan yang tak pernah kadaluarsa dari jaman Cheng Ho. Ternyata salah sodara-sodara. Mbah Tumpeng adalah juru masak armada Cheng Ho. Disini terdapat makamnya yang biasa menjadi tempat ziarah para wisatawan.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Kuil Kyai Jangkar (Dalam)"]

[/caption]

Setelah saya puas melihat-lihat, akhirnya saya memutuskan untuk masuk dan menggambil gambar. Sayang ketika itu tidak ada penjaga disana, jadi saya hanya menggambil sedikit gambar. Kuil kyai Jangkar sanagt kental dengan nuansa orientalnya, Lampion, Dupa, dan berbagai tulisan Cina yang saya tidak mengerti artinya. Beda dengan Makam Kyai Tumpeng yang lebih mirip pendopo daripada makam atau kuil.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Relief dan The New Gua Batu"]

[/caption]

Saya kelupaan satu spot penting di Klenteng Utama, Relief. Relief ini menceritakan perjalanan Sam Laksamana Cheng Ho mulai dari awal perjalananya, keberangkatan di Cina, sampai cerita perjalan terakhirnya yaitu penyelamatan Ambasadornya Cina yang hilang di indonesia. Cerita lain yang cukup unik adalah ketika Cheng Ho memberantas Bajak Laut di Sumatera. Total ada 11 cerita disini, tapi sayang, sebagian penjelasananya sudah hilang, termasuk sebuah cerita yang ada gambar masjid didalamnya.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Kuil Kyai Juru Mudi"]

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Kuil Dewa Bumi"]
[/caption]

Dua spot terakhir terletak di utara Klenteng Utama. Pertama adalah Kuil Kyai Juru Mudi. tenang sodara-sodara, kali ini bukan benda, tapi benar-benar Juru Mudi yang disucikan. Di kuil ini juga terdapat makam dari Juru Mudi armada Cheng Ho. Spot Kedua adalah Kuil Dewa Bumi atau Dewa Kemakmuran. Tempat pemujaan Dewa Bumi ini sering kita temui pada klenteng pada umumnya, karena memang disini tempat meminta rejeki.

[caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Gerbang Selatan"]

[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Patung-patung di Plasa"]
[/caption]

Matahari sudah mulai menampak diatas kepala, membuat saya malas dan semakin malas. Akhirnya saya keluar dari komplek kuil, dan mencoba menghabiskan hidangan penutup. Dessert kita kali ini adalah daerah di luar komplek kuil. Selain komplek kuil, Sam Poo Kong juga menawarkan jasa berfoto, plasa berisi patung asli dari cina, dan sebuah pendopo di dekat pintu masuk.

Setelah puas diterpa panasnya Semarang, akhirnya saya berhasil menemukan sebuah spot istirahat baru, sebuah pendopo yang terletak di bagian tenggara daerah ini. Oke, ijinkan saya istirahat sejenak. Rentetan perjalanan dari subuh sampai siang ini membuat pendopo yagn biasa-biasa saja terasa seperti istirahat di sebuah dermaga kayu di Tanjung Lesung, sepoi-sepoi dan nyaman, tapi tanpa aroma pantai.

Semarang di siang hari di tempat terbuka adalah kesalahan terbesar, its like livin hell guys. Oke, solusi terbaik adalah kabur dari tempat ini. Saya berjalan keluar dengan malasnya. Tapi entah kenapa, saya malah terikat percakapan dengan seorang satpam, sebut saja Pak Eko.

Pak Eko memberitahukan kepada saya kalau dulunya ada satu kuil lagi diantara Kuil Kyai Jangkar dan Kuil Kyai Tumpeng. Kuil tersebut bernama Kuil Cundrik Bumi.  Jadi kuil ini adalah tempat penyimpanan benda-benda suci milik armada Cheng Ho. Tapi sayang, kuil ini dipindahkan ketika renovasi.

Justru info paling banyak yang saya dapatkan bukanlah dari mencari sendiri, atau melihat, atau apalah. Info paling banyak adalah ketika saya bertanya ke Locals alias orang asli daerah tesebut. Jadi memang tepat sekali ritual 'Malu Bertanya Sesat di Jalan, Kebanyakan Nanya Malu-maluin'.

--------------------------------------------------

Sayapun berjalan menuju motor saya, kali ini tanpa iringan kicauan burung. Kemudian saya bermotor membelah panasnya Semarang. Di tengah jalan, saya teringat kata-kata Pak Eko yang cukup mengagetkan. Kira-kira seperti ini.

"Mas tahu ga, sebenarnya ketika pemeluk Kong Hu Cu sembayang ke arah luar, sebenarnya mereka sedang beribadah ke Tuhan, kalau saya (muslim) mungkin seperti ritual Solat. Mereka sembayang ke arwah, seperti kegiatan Ziarah yang dilakukan orang Jawa. Itu mas yang saya lihat selama saya kerja disini." -Pak Eko
--------------------------------------------------
[caption id="" align="aligncenter" width="264" caption="Entah Patung Apa.."]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="266" caption="Suasana di Klenteng Utama"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="264" caption="Salah Satu Sudut Sam Poo Kong"]
[/caption] [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="Dupa"]
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun