Jalan- jalan keliling kota, mengunjungi tempat wisata, memang terlihat keren dan selalu dipandang memiliki uang yang cukup. Tapi nyatanya banyak seorang traveler, baik solo atau kelompok sering mengalami kekurangan uang selama perjalanan.
Penulis akan bercerita dari pengalaman pribadi, pasca pandemi covid tahun 2020, ketika masih menjadi seorang mahasiswa, bersama teman-teman perkulihan, depalan orang berangkat  menggunakan kendaraan bermotor dari kota indramayu Jawa Barat ke gunung lawu yang terletak di  Kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa tengah.
Selama 12 jam berkendara menempuh jarak sejauh 436km menggunakan sepeda motor. Melewati ribuan warung pinggiran yang ada disepanjang jalur pantura pulau jawa. Â Biasanya warung itu buka selama dua puluh empat jam melayani para pengendara yang membutuhkan tempat beristirahat.
Warung memiliki banyak jenis seperti warung kopi, warung klontong, warung makan. bahkan sering kita dengar istilah warung Madura yang tidak pernah tutup dan selalu ada penjaganya. Dengan keberadaan warung -- warung seperti itu membantu para pengendera sepanjang perjalanan.
Mungkin ini sering dialami oleh para traveler, ketika arah pulang, persediaan makanan dan cost sudah menipis, hanya memiliki aksesoris yang kami bawa dari rumah. Mungkin ini terdengar nekad tapi bagi seorang mahasiswa hal yang sudah biasa dilakukan ketika sedang tidak memiliki uang.
Saat arah pulang menuju ke indramayu, tepatnya dikota tegal perbatasan dengan kota Cirebon, delapan orang merasakan perut keroncongan. Tanpa memikirkan sisa uang yang kita miliki. terdapat warung makan dipinggir jalan, tanpa berfikir panjang kami mampir dan memesanan makanan.
Kami memesan delapan porsi dengan harga pada saat itu lima belas ribu satu porsi sudah dengan esteh manis. Menahan lapar dari kota semarang. dimeja menu tambahan tersedia, gorengan, kerupuk, buah buahan, meski tempatnya kecil persediannya lengkap layaknya rumah makan besar.
karena menahan lapar dari kota semarang, kami makan hilang kendali tidak menghitung terlebih dahulu sisa uang bisa untuk bayar atau tidak. Â setelah selesai makan, akhirnya kami mengumpulkan uang untuk bayar, obrolan tanpa diketahu pemiliki warung, dihitung dengan total semua yang kami makan uang untuk bayar kurang. kalau dihitung sekitar kurang 25ribu.
Dengan kekurangan itu akhirnya kami berunding untuk sepakat dituker dengan salah satu alat gunung yang kami miliki, kita tuker kurangan itu dengan sarung tangan. Kalau difikir memang tidak ada gunanya bagi pemilik warung.
Namun kebaikan pemilik warung, membolehkan kita menukar kurangan itu. Akhirnya kita pun bisa menyerahkan sarung tangan yang kita miliki. Bermanfaat atau tidak itu tidak tahu. Tapi bagi penulis pengalaman seperti itu, membawa sudut pandang keberadaan warung kecil dipinggir sangat membantu.