Mohon tunggu...
Wamdi Jihadi
Wamdi Jihadi Mohon Tunggu... -

Nilai kita bukan pada apa yang kita miliki, namun apa yang kita beri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengabdi Sepanjang Usia

9 Desember 2015   16:16 Diperbarui: 9 Desember 2015   16:36 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Di usia dunia yang semakin sepuh ini tidak banyak manusia yang sampai umurnya hingga 70 tahun. Memang persoalan ini di tangan Tuhan, tapi realita di lapangan banyak kita temui orang-orang yang telah kembali sebelum sempat menginjak usia 70 tahun. Dan itulah sebabnya bagi mereka yang menapaki usia tersebut seringkali kita menyebutnya sebagai usia bonus. Mereka adalah orang-orang yang sempat menyaksikan generasi ketiga bahkan keempat.

Satu di antara mereka itu adalah Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc. Seperti yang terekam dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Amin ini sebagai kado 70 tahun Sang Guru besar tersebut. Lahir di Muara Rumbai pada tahun di mana Bung Karno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari keluarga yang miskin. Ayahnya yang bernama Ahmad menghidupi keluarga dengan cara berladang dan menjual makanan ke pasar sekali sepekan. Sementara ibunya Latifah membuka usaha menjahit di rumah. Sehingga di antara pekerjaan masa kecil Muchtar Ahmad kala itu adalah memasang kancing baju-baju jahitan ibunya.

Tetapi terlahir dari keluarga miskin bukan berarti rintangan baginya untuk mengurangi kadar impian atau cita-cita. Ia mengawali Sekolah Dasar (SD) di kampung halamannya, Muara Rumbai. Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Pasir Pengaraian. Sementara untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi Muchtar Ahmad mesti pergi ke ibu kota Provinsi, Pekanbaru. Semasa itu belum ada transportasi umum, sehingga Muchtar Ahmad mesti mengayuh sepeda sejauh 200 Km.

Selepas menyelesaikan strata satu (S1) Muchtar Ahmad mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya ke Jepang melalui beasiswa Monbusho. Di negeri Sakura inilah beliau menempa diri dengan dunia Akademis – yang nanti banyak mempengaruhi cara beliau juga dalam mengajar mahasiswanya – yang sangat disiplin, terlibat dalam berbagai penelitian, dan tentunya juga aktif dalam ragam aktivitas organisasi kemahasiswaan.

Sisi kiprah dan buah pikiran beliau bagi daerah, nasional dan dunia internasional juga diulas dalam buku setebal 424 ini. Buku ini dibagi menjadi dua bagian; bagian pertama tentang biografinya, sedangkan bagian kedua bunga rampai berupa tulisan testimoni dari 32 orang teman, kolega, dan orang-orang yang pernah bersentuhan dengannya. “Pak Muchtar bukan baling-baling di atas bukit yang berputar mengikut arah angin. Pak Muchtar juga bukan tepian sungai yang selalu beranjak setiap kali air bah. Pak Muchtar adalah batu karang, yang tidak goyah oleh gelombang.” Demikian di antara testimoni yang dituliskan oleh Hj. Azalini Agus. 

Pengabdian tiada jeda di sepanjang batang usianya membuat kita merenungi diri sendiri, seraya bertanya sudah seberapa persen-nya-kah potensi yang telah kita ulurkan buat negeri ini? Selamat Membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun