Mohon tunggu...
Wamdi Jihadi
Wamdi Jihadi Mohon Tunggu... -

Nilai kita bukan pada apa yang kita miliki, namun apa yang kita beri

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merawat Rumah Kemanusiaan

4 Desember 2014   20:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:03 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampai detik ini di beberapa literatur sejarah – khususnya sejarah Islam – saya belum menemukan nama dari nenek Umar bin Abdul Aziz yang menjaga integritas dirinya untuk senantiasa berlaku jujur. “Maksiat yang tidak berani saya lakukan di tengah keramaian, tidak juga datang keberanian saya dikala sunyi,” ujarnya menanggapi permintaan ibunya untuk mencampurkan air ke dalam susu yang esok harinya akan mereka pasarkan.

Hanya diceritakan bahwa ia seorang gadis yang kemudian dinikahi oleh ‘Asim, anaknya Umar bin Khattab. Berikutnya dari perkawinan mereka itu lahirlah Laila yang lebih dikenal dengan panggilan Ummu ‘Asim. Ummu ‘Asim kemudian menikah pula dengan Abdul Aziz bin Marwan, yang kemudian buah dari pernikahan mereka lahirlah Umar bin Abdul Aziz, yang oleh banyak sejarawan disebut sebagai khalifah yang kelima (disetarakan dengan Abu Bakar, buyutnya Umar, Utsman dan Ali).

Di antara maknanya, sejarah mengajarkan kepada kita untuk lebih mengejar hikmah ketimbang nama-nama yang berperan dalam sejarah tersebut. Dan hikmah atau pelajaran adalah hal terpenting dari sejarah. Ia adalah isi, substansi dari dinamika kehidupan manusia di masa lampau. Karena itu pembacaan sejarah yang benar adalah pengambilan pelajaran dari naik turunnya kehidupan masa lalu untuk kemudian dijadikan bagian dari pedoman dalam melangkah ke masa depan. Sehingga hidup kita hari ini dan masa mendatang tidak lagi meraba atau bahkan terjun ke kubangan yang dulu nenek moyang kita pernah tercebur ke dalamnya.

Maka ketika kita mengajarkan sejarah sesungguhnya kita sedang mengajarkan keberlanjutan kehidupan. Orang-orang yang telah terkubur itu tidak akan mungkin bangkit kembali untuk kemudian menunjukkan pada kita kesalahan jalan yang telah mereka tempuh dan sayangnya tidak sempat memutar arah. Atau sebaliknya memperadekan keberhasilan yang telah mereka capai di batang tubuh usia. Tetapi lewat literatur dan cerita yang diwariskan sedikit banyaknya bisa kita pungut dan memilah-milah apa yang baik untuk dikonsumsi, lantas kemudian membisikkannya pada anak dan cucu kemenakan kita.

Jangan pernah menyesali apalagi membenci sejarah, seburuk apa pun itu. Sebab itu artinya kita mencela rumah kehidupan yang telah Tuhan susun batu batanya dari waktu ke waktu. Tinggal kemudian kita terima sisi hitamnya sebagai sebuah kesadaran untuk pegangan bahwa ia tidak boleh terulang kembali di bumi yang sama ini dengan manusianya yang datang silih berganti.

Dan janganlah sampai tertipu dengan nama-nama, tempat dan waktu yang menjadi kediaman bagi sejarah. Sangat sulit bagi logika manusia menerima jika Tuhan menurunkan hikmah tanpa memunculkan tokoh, waktu dan tempat di mana hikmah itu berdenyut. Maka kesadaran historis bukan hanya menceritakan kisah-kisah umat manusia yang pernah terjadi, tapi yang lebih mendasar adalah mendapatkan nilai untuk perawatan dari rumah kemanusiaan kita. Seperti halnya nilai kejujuran yang Tuhan inapkan lewat gadis penjual susu itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun