Asap hitam masih membubung dari puncak Gunung Lewotobi. Dari kejauhan, pijar api dan percikan lava tampak seperti lilin yang terbakar di tengah kegelapan malam. Namun, itu bukan pemandangan indah---itu adalah simbol bencana.
Aku, Sesilia, baru saja tiba di kampung mengisi liburan akhir semester tahun ini dari Kota Karang. Aku turun dari bus manggis jaya dan langsung dikejutkan dengan pemandangan yang membuat hatiku mencelos. Atap rumah-rumah di desaku berlubang, kebun kopi yang dulu hijau kini hangus, dan aroma abu belerang bercampur tanah tercium di mana-mana.
"Sesilia, kau pulang, nak?" suara Nenek Melda menyapaku. Wajahnya penuh kerut, matanya tampak bengkak karena terlalu sering menangis.
"Iya, Nek. Apa kabar semua di sini?" tanyaku pelan, mencoba menahan air mata.
"Kabar? Tidak ada kabar baik, nak. Semua hilang. Kopi nenek, ladang kelapa, semua hangus karena di cium lava dan abu vulkanik. Sekarang kami hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatiku pilu, nak, melihat semua ini," jawab Nenek seraya menatap jauh ke arah puncak gunung yang masih memuntahkan asap.
                                                      foto dokumen pribadiÂ
Aku tak mampu berkata-kata. Aku hanya bisa memeluk nenek, merasakan tubuhnya yang gemetar karena ketakutan dan kelelahan.
Hari berikutnya, aku berjalan menyusuri desa, melihat rumah-rumah yang hancur dan mendengarkan cerita-cerita memilukan dari warga.
"Saya baru saja memanen jambu mete, Sesilia," kata Pak Samuel dengan mata berkaca-kaca. "Mau saya jual untuk membayar sekolah anak-anak, tapi... sekarang semuanya hangus. Apa yang bisa saya lakukan?"
"Anak-anak saya sakit, Sesilia," ucap Bu Marta sambil menggoyang-goyangkan kipas tangan di atas bayinya yang terbatuk-batuk. "Abu vulkanik ini membuat kami tidak bisa bernapas lega. Kami tidak punya masker, tidak punya apa-apa."
Aku mendengarkan semuanya dengan hati yang terasa hancur. Aku tahu aku hanya seorang anak SMP, tapi naluri dalam diriku berteriak untuk melakukan sesuatu.