Mohon tunggu...
Walid Musthafa
Walid Musthafa Mohon Tunggu... -

Political Scientist and Researcher

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konsep Nasionalisme Indonesia dalam Menghadapi Arus Globalisasi Dunia

29 Juni 2012   09:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:25 6683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang akan anda pikirkan segera setelah mendengar ataupun melihat kata “nasionalisme”? Mungkin sebagian besar dari kita akan langsung mengatakan bahwa kata tersebut merupakan ungkapan “rasa cinta kepada tanah air”. Bahwa dalam setiap tindakan, perilaku serta fikiran kita yang mengarah kepada perwujudan cinta kepada tanah air, hal tersebut adalah bentuk dari nasionalisme yang tertanam pada diri kita, dan itulah yang disebut dengan nasionalisme. Kalaulah memang benar demikian adanya, maka nasionalisme itu haruslah bersifat universal, dalam arti dapat diterima secara luas oleh seluruh elemen dan lapisan masyarakat yang ada di dalam suatu bangsa dan berlaku dalam sebuah kerangka identitas nasional yang melahirkan loyalitas setiap individu kepada Negara bangsa yang diakui keabsahannya. Persoalan lain kemudian muncul, bagaimana kemudian kita membentuk loyalitas tersebut? Karena didalam suatu Negara, terlebih sebuah Negara yang tidak seratus persen homogen, maka pembentukan loyalitas terhadap Negara bangsa bukanlah sesuatu yang mudah untuk dibangun, setidaknya dapat dilihat secara sepintas di Indonesia yang telah 60 tahun lebih mencoba membangun hal tersebut akan tetapi belum dapat dikatakan berhasil, karena dapat kita saksikan masih banyak konflik horizontal didalam masyarakat dan bahkan marak terjadi gerakan separatisme yang sampai dengan saat ini belum juga dapat dikikis habis oleh pemerintah.

Sebelum jauh membuat sebuah kesimpulan yang mungkin saja dapat keliru, mari kita awali dengan melihat apa sebenarnya pengertian dari nasionalisme itu sendiri. Menurut Hans Kohn, “nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sebelum lahirnya paham nasionalisme, kesetiaan orang tidak ditujukan kepada negara kebangsaan, tetapi kepada berbagai bentuk kekuasaan social, organisasi politik atau raja feudal, kesatuan ideology seperti suku atau klan, Negara kota, kerajaan/dinasti, gereja atau golongan keagamaan”. Secara konseptual, nasionalisme menempatkan rasa cinta, kesetiaan, dan penghormatan kepada bangsa diatas golongan dan individu-individu. Konsep nation, merujuk pada sekelompok individu-individu yang memenuhi kualitas sebagai suatu bangsa. Menurut Rourke, untuk disebut sebagai suatu bangsa, ada tiga unsure yang harus dipenuhi, yakni similaritites, feeling of community dan a desire to separate (secara politik independen atau otonom). Sebagaimana Hans Kohn melihat nasionalisme sebagai perasaan yang mencerminkan kesadaran nasional dan kesetiaan kepada suatu bangsa dan individu-individu menyerahkan kesetiaannya dan mengidentifikasikan kesejahteraannya dengan suatu bangsa tertentu, oleh karena itu nasionalisme mengandung unsure-unsur psikologis dan unsure politis, dalam arti yang lebih konkret, kekuasaan politik tercermin dalam Negara, namun keberlangsungan hidup Negara tergantung pada sejauhmana bangsa tersebut secara psikologis dipersatukan.Terkait dengan ini Anderson mengatakan bahwa Bangsa adalah komunitas politik yang terbatas dan berdaulat yang dicita-citakan atau diangankan. Komunitas politik itu dikatakan sebagai imagined, karena anggota komunitas itu tidak pernah saling mengenal,saling bertemu, atau bahkan saling mendengar. Yang ada dalam pikiran masing-masing anggota komunitas tersebut adalah hanya gambaran tentang komunitas mereka. Suatu bangsa akan terbentuk, jika sejumlah besar warga dalam suatu komunitas mau menetapkan diri sebagai suatu bangsa yang mereka angankan. Didalam kata nasionalisme terdapat kata nation, yang secara istilah “..menunjukkan sekelompok individu yang dipersatukan baik oleh ikatan politik.. ikatan persamaan-persamaan ras, agama, bahasa atau tradisi”.

Sartono Kartodirjo mendefenisikan nasionalisme adalah sebuah ideology yang mencakup prinsip kebebasan (liberty), kesatuan (unity), kesamarataan (equality), serta kepribadian yang menjadi nilai kehidupan kolektif suatu komunitas untuk merealisasikan tujuan politik yaitu pembentukan dan pelestarian negara nasional. Nasionalisme berakar dari timbulnya kesadaran kolektif tentang ikatan tradisi dan diskriminasi. Reaksi terhadap situasi itu merupakan kesadaran untuk membebaskan diri dari tradisi dan untuk melawan pengingkaran terhadap identitas bangsa. Selanjutnya dilain pihak Ernest Gellner melihat nasionalisme adalah sebagai doktrin bahwa unit politik (the State) dan unit budaya (the nation) harus berhimpit. Menurut pandangan yang menjadi dasar defenisi ini, nasionalisme berarti bahwa Negara, yang merupakan organisasi pelaksana kekuasaan yang berdaulat atas suatu wilayah, harus memerintah atas nama dan kepentingan suatu bangsa tertentu (a particular nation), yang didefenisikan sebagai sekelompok orang yang merasa memiliki kebudayaan yang sama.

Nasionalisme juga banyak dikritik oleh para sarjana. Paham yang lahir di Eropa pada abad kesembilan belas ini pernah dianggap sebagai raison d’etre dan ideology alternative bagi bangsa-bangsa yang berada dalam cengekeraman kolonialisme untuk membebaskan diri dari belenggunya dan membangun sebuah entitas Negara-bangsa baru. Kritik yang disampaikan bahwa dalam nasionalisme tersebut mengidap kecenderungan negative berupa eksklusivisme dan fanatisme yang pada gilirannya mendorong terjadinya chaivinisme dan sektarianisme.

Dari pengertian nasionalisme yang disampaikan diatas dapat kita simpulkan bahwa nasionalisme sebagai sebuah ideology dan sikap warga Negara terkait bangsa nya tidaklah sederhana dan memiliki implikasi yang luas. Pembentukan loyalitas terhadap bangsa dan usaha untuk mengikat masyarakat dalam suatu kerangka nasional, meskipun, seperti yang disampaikan oleh Anderson berupa masyarakat khayali, adalah syarat penting didalam memupuk dan menumbuhkan nasionalisme. Tahap awal yang paling penting dari nasionalisme adalah bagaimana loyalitas nasional kebangsaan terbentuk secara utuh dan mengikat seluruh masyarakat yang heteregon tanpa ada sekat ras, agama, budaya dll, karena loyalitas nasional kebangsaan yang bersifat universal tersebut didalam masyarakat telah menjadi keseharian yang tidak terpisahkan. Selain masalah teknis yang mungkin saja sangat sulit dalam mewujudkan nasionalisme dalam sebuah Negara, konsep nasionalisme itu sendiri juga masih terjadi banyak perdebatan., misalnya saja persoalan bagaimana mebedakan dengan tegas antara “bangsa” dan “kelompok etnis”. Misalnya saja di Kanada, ada kelompok French-Canadian yang merupakan penduduk mayoritas di wilayah Quebec yang cenderung eksklusif, dan secara kultur berbeda dengan mayoritas penduduk Kanada keturunan Inggris dan Amerika.

Sejak berakhirnya Perang Dunia II, gelombang nasionalisme melanda Negara-negara bekas jajahan di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Bentuk nasionalisme yang muncul di Negara-negara Dunia Ketiga berbeda dengan nesionalisme yang muncul di Inggris dan Perancis. Di Inggris dan Perancis, tumbuhnya nasionalisme adalah karena dorongan untuk membebaskan diri dari kekuasaan absolute raja-raja Eropa. Sedangkan nasionalisme yang tumbuh di Negara-negara baru ini adalah nasionalisme yang muncul karena didasarkan atas keinginan untuk membebaskan diri dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa dan Amerika. Ketika Negara-negara Dunia Ketiga dalam kondisi berbenah secara terus menerus untuk mencapai kesejahteraan dalam negerinya, kebanyakan dari Negara-negara ini mengalami ancaman kedaulatan yang datang baik dari internal maupun eksternal. Ancaman-ancaman kedaulatan nasional dapat dilihat dalam 3 bentuk, yakni: Pertama, kemajuan teknologi militer. Kedua, munculnya organisasi-organisasi supranasional dan Ketiga,munculnya gerakan-gerakan transnasional yang bersifat ideologis, religious, fungsional dan politis. Sedangkan Kenichi Ohmae melihat bahwa aktifitas perekonomian global telah menjadi ancaman bagi peranan Negara bangsa. Dalam arti fisik, aktifitas-aktifitas ekonomi global telah melemahkan makna batas-batas geografis suatu bangsa. Dan dalam arti psikologis, aktifitas tersebut juga telah melampaui makna atau label bangsa atau Negara. Misalnya kita jarang mempersoalkan nasionalisme rakyat Hongkong, namun secara ekonomi mereka hidup lebih makmur. Mengaburnya batas-batas wilayah Negara, menurut Ohmae adalah akibat mengalirnya arus “empat I”. Pertama, Investasi, dimana investasi Negara-negara maju bisa mengalir ke Negara-negara berkembang dengan leluasa. Kedua, Industri, yaitu semakin banyaknya industry-industri dari berbagai perusahaan multinasional yang beroperasi melintasi batas-batas wilayah Negara. Ketiga, adalah Informasi, yang memungkinkan pola interaksi semakin cepat dengan jaringan ke seluruh dunia. Dan Keempat adalah konsumen-konsumen Individual yang akan membeli produk-produk terbaik tanpa terikat pada label kebangsaan.

Globalisasi sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam interaksi umat manusia, karena secara alamiah pada dasarnya masnusia ingin berhubungan dnegan manusia lainnya tanpa dibatasi sekat-sekat geografis, politis, budaya. Bahwa pada dasarnya manusia akan menghadapi situasi alamiah yang sama, yaitu persoalan scarcity of collective goods. Masalah kelangkaan sumber-sumber kehidupan mendorong manusia untuk berkelana keseluruh penjuru dunia untuk mencari jeminan keberlangsungan hidup mereka. Bukti-bukti politis dari terjadinya proses globalisasi kuno adalah pembentukan imperium-imperium sejak masa Yunani Kuno seperti kerajaan Lydia meluaskan kekuasaan hingga ke Asia Minor, Imperium Assyria dan Persia di Timur Tengah. Dan kekaisaran Macedonia di bawah Great Alexander yang telah meluaskan wilayahnya hingga ke Sungai Indus di Asia Tengah. Globalisasi kuno (archaic globalization) berlangsung hingga kira-kira tahun 1500, dimana didalam periode ini termasuk periode Byzantium, Dinasti Tang di China, dan berbagai Khalifah Islam di Timur Tengah.

Tahap selanjutnya setelah globalisasi kuno adalah “proto globalisasi” yang berlangsung antara 1500-1800 dengan bangkitnya imperium-imperium Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris dan Imperium Islam seperti Turki Ottoman dan Kekaisaran Moghul di India. Tahap globalisasi modern dimulai sekitar abad ke 19, dengan mulai tumbuhnya Negara bangsa (nation-state) dan maraknya Multinational Corporation (MNC). Pada tahap ini kekuatan global utama adalah Inggris dan kekuatan yang mulai bangkit adalah Amerika, Jerman dan Jepang. Dan tahap terakhir adalah globalisasi pasca perang dunia II, dimana globalisasi muncul sebagai fenomena yang kompleks dan bahkan tumbuh secara paradoksal.

Globalisasi modern berkaitan dengan dinamika modernitas dan konsep yang merujuk pada dunia yang semakin mengecil (Shrinking The World) dab meningkatnya kesadaran manusia mengenai masalah-masalah dunia secara keseluruhan. Konsep ini melibatkan masalah perkembangan teknologi komunikasi, kemudahan transportasi hinga keleluasaan pergerakan barang, jasa, manusia beserta gagasan-gagasannya ke berbagai penjuru dunia dan dalam jaringan-jaringan internasional. Dari hal-hal yang demikian inilah kemudian berkembang konsep globalisasi ekonomi, globalisasi politik, globalisasi social budaya. Berbagai dimensi globalisasi inilah yang pada gilirannya menimbulkan paradox atau dilemma, terutama bagi Negara-negara yang baru merdeka yang masih mengalami berbagai persoalan, maupun Negara-negara yang masing dalam tahap Negara berkembang yang juga masih disibukkan dengan permasalahan internal maupun eksternal mereka.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul berbagai pandangan terhadap fenomena globalisasi. James J Spilane misalnya, melihat ada tiga kelompok yang memandang globalisasi secara berbeda, yakni kelompok skeptis, kelompok hyperglobalis dan kelompok transformatif. Kelompok skeptis melihat bahwa globalisasi bukanlah hal yang baru, karena globalisasi sudah terjadi sejak abad ke 14. Kelompok hyperglobalis melihat bahwa globalisasi telah mengubah dunia secara radikal dan menghancurkan kebudayaan-kebudayaan local. Sedangkan kelompok transformatif menganggap perbedaan globalisasi sjak jaman dahulu hingga sekarang hanyalah masalah kecepatan (velocity), intensitas (intensity) dan ekstensitasnya.

Jika kita lihat dari aspek politik, globalisasi direspon dengan sikap negative maupun positif. Kelompok yang melihat globalisasi dengan negative memandang dengan sini dikarenakan oleh dua hal, Pertama, proses globalisasi membawa internasionalisasi dan penyebaran nilai-nilai dan pemikiran demokrasi, termasuk didalamnya masalah HAM. Bagi Negara-negara berkembang (seperti Indonesia) hal ini berkaitan langsung dengan keabsahan Negara dan implikasinya bagi hubungan ekonomi dan politik di tingkat nasional dan internasional. Kedua, globalisasi menyebabkan berkurangnya kemampuan Negara untuk mengontrol dan mempertahankan loyalitas individu warganya. Sedangkan bagi kaum liberalis, globalisasi membawa makna positif sebagaimana yang diwakili oleh Francis Fukuyama, bahwa dengan kemenangan ideology liberalis atas komunis, maka telah berakhir persaingan ideology. Dengan demikian, fasisme, komunisme dan monarki akan ditinggalkan dan demokrasi liberal adalah bentuk terkahir yang bisa diadopsi secara universal.

Didalam bidang ekonomi, globalisasi membuat Negara menjadi sulit untuk mempertahankan kebijakan ekonomi yang independen dan otonom. Negara-negara yang mengadopsi norma-norma liberal yang ditawarkan oleh globalisasi membuat intervensi pemerintah dalam aspek ekonomi sulit dilakukan dan akhirnya menjadi kebijakan yang kurang popular. Hal ini dikarenakan adanya gejala yang disebut internationalization of state yang membuat kebijakan-kebijakan nasional harus disesuaikan dengan tekanan dan tuntutan internasional.

Berdasarkan uraian yang telah disampaikan diatas terkait dengan nasionalisme dan globalisasi yang terus mengalami perubahan dan perekembangan, seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri. Globalisai kemudian memang seakan-akan dilihat ibarat dewa Janus yang bermuka dua, yang bisa membawa keburukan dan juga dapat memberikan kebaikan. Globalisasi tidak hanya membawa dampak bagi Negara yang masih berkembang, akan tetapi juga Negara yang sudah maju. Dampak yang paling besar memang akan sangat berpengaruh bagi Negara-negara yang masih berkembang. Hal ini dikarenakan Negara-negara berkembang masih sangat mudah menerima pengaruh dari luar, oleh karena itu, perubahan yan terjadi di Negara-negara yang masih berkembang akibat dari globalisasi ini menjadi tantangan bagi nasionalisme sebuah bangsa.

Indonesia sebagai sebuah Negara yang terdiri dari begitu banyak suku bangsa, sehingga tidak salah jika Negara ini disebut juga dengan Negara-bangsa (Nation-State). Sebagai Negara yang merupakan bekas jajahan dan masih berada dalam tahap Negara berkembang, nasionalisme yang tumbuh di Indonesia menjadi begitu kuat. Dengan perkembangan globalisasi di dunia saat iniyang prinsipnya adalah mewujudkan Negara tanpa batas (boderless state),tentu saja akan sangat banyak memperngaruhi bentuk dan kadar dari nasionalisme yang selama ini terbangun di Indonesia.

Dengan perkembangan globalisasi yang semakin gencar saat ini, kemuculan organisasi-organisasi internasional pun tidak terelakkan. Munculnya organisasi seperti International Monetary Fund (IMF), Europe Union (EU), World Trade Organization (WTO), ASEAN, dll. Dengan munculnya organisasi-organisasi internasional seperti ini, tentu saja akan sangat membawa dampak bagi Negara-negara yang menjadi anggotanya. Salah satu dapak yang dirasakan dari adanya organisasi-organisasi ini adalah adanya pengaruh dan bahkan mungkin juga tekanan dan intervensi terkait kebijakan pemerintah yang menyengkut kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Dari fenomena ini, terkesan dan terlihat bahwa Negara kemudian sedikit berbagi kewenangannya kepada organisasi-organisasi internasional tersebut. Menurut Rothenberg, untuk memahami arti globalisasi yang perlu diperhatikan adalah bagaimana nilai yang terkandung dan dianut oleh suatu Negara dan apa yang berubah ketika terjadi globalisasi. Selanjutnya menurut Rothenberg, terdapat tiga tekanan globalisasi terhadap Negara-negara berkembang, yaitu pilihan individual melawan pilihan social, perdagangan bebas melawan intervensi pemerintah, dan otoritas local melawan otoritas supra-lokal.

Nasionalisme merupakan sebuah paham yang mana muncul tatkala kita diharuskan untuk memilih pada diri kita akan status kebangsaan. Secara umum nasionalisme muncul tatkala seseorang dihadapkan pada dua atau lebih pilihan yang mengharuskannya memilih hal yang berkenaan dengan kewarganegaraan, suatu kelompok, yang secara khayal ada keterikatan. Warga negara dari suatu bangsa pasti memiliki identitas politik yang mana identitas tersebut ditanamkan semenjak kita lahir, semenjak kita mengenyam pendidikan. Di Indonesia sendiri penanaman konsep identitas politik (politic identity) diwujudkan pada diselenggarakannya peringatan-peringatan yang berkaitan dengan jati diri bangsa, misal, peringatan sumpah pemuda, 17 Agustus, upacara setiap hari senin, dan sebagainya. Yang mana kesemuanya itu merupakan upaya-upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan identitas politik dan upaya untuk menanamkan rasa nasionalisme. Mencetak pribadi-pribadi yang cinta dan banga akan bangsanya. “saya adalah orang Indonesia, lahir dan hidup di Indonesia, maka saya harus mengabdi kepada bangsa dan negara saya, apa yang bisa saya lakukan untuk negara?”

Statemen di atas mungkin pada saat ini sudah tidak bisa dipakai atau dijadikan patokan. Hal ini dikarenakan mulai maraknyan budaya luar yang notabene mulai mengaburkan batas-batas khayal budaya suatu negara. Di Indonesia orang mungkin tidak lagi bangga akan bangsanya, orang akan cenderung membandingkan dengan bangsa lain, mereka berandai-andai bagaimana kalau mereka tinggal di bangsa/negara lain yang lebih baik daripada Indonesia. Ironisnya negara yang dijadikan pembanding merupakan pencipta dan penyebar arus globalisasi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang notabene merupakan negara yang sudah mapan segala-galanya dan menganggap bangsa asia hanya sebagai ‘market’ bagi keuntungan negaranya. Kondisi demikian sudah mewabah hampir disemua kota-kota besar di asia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya Hal ini salah satunya disebabkan karena semakin terbukanya informasi, pengaruh kapitalis (globalisasi), ketidakmampuan pancasila dalam menyaring budaya-budaya dan informasi yang masuk dan hal lain yang intinya semakin mendekatkan masyarakat pada konsep ‘global village’. Salah satu sebab yang merupakan penyebab utama adalah karena adanya globalisasi. Diaspora (persebaran) globalisasi yang pesat merupakan penyebab utama kemerosotan rasa nasionalisme. Dengan kata lain globalisasi merupakan tantangan utama bagi nasonalisme tanpa mengenyampingkan factor-faktor lain. Dalamperkembangansejarah,pahamnasionalisme (kebangsaan) tidak atau belum pernah mengalami tantangan yang sedemikian serius. Dengan merebaknya globalisasi dalam bidang ekonomiyangdidukungdenganteknologikomunikasi, mengakibatkan melemahnya batas-batas antar negara, sehingga terjadi interaksi universal antar manusia.

Indonesia dengan beragam suku, agama, budaya, serta wilayah yang luas memang akan sangat tertantang secara terbuka dengan wujudnya globalisasi saat ini. Selama ini dasar Negara, yakni Pancasila digunakan sebagai landasan nasionalisme bangsa Indonesia, maka dengan terbuka Indonesia dengan proses globalisasi terjadi pergeseran perilaku dan nilai yang lebih universal dari masyarakat Indonesia. Jadi benarlah bahwa globalisasi telah menjadi tantangan yang jelas bagi rasa nasionalisme bangsa Indonesia. Salah satu aspek lain dari terjadinya globalisasi yang mempengaruhi rasa nasionalisme, adalah terkait nasionalisme ekonomi. Nasionalisme ekonomi Negara akan terancam karena nasibnya akan terkait dengan persoalan ekonomi Negara lain atau perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) yang beroperasi secara global. Dalam pasar global, sebagaimana disampaikan oleh Ohmae, individu-individu warga Negara lebih tertarik dengan komoditas berkualitas tanpa menghiraukan label kebangsaan. Dalam hal ini, wewenang pemerintah dalam bidang ekonomi juga mengalami penurunan, dan jika pemerintah mengambil tindakan sepihak (unilateral) yang tidak sesuai dengan realita ekonomi internasional, seperti misalnya tindakan nasionalisasi, proteksionisme atau berbagai regulasi ekonomi, maka pemerintah juga akan membayar mahal atas tindakan tersebut. kebijakan-kebijakan tersebut tentu akan menimbulkan upaya balasan (reciprocity) oleh Negara lain. Sebaliknya, jika Negara juga terlalu memihak kepada pasar global, maka pemerintah akan menjadi musuh bagi rakyatnya sendiri, misalnya kebijakan kenaikan BBM, Impor Sembako, dll.

Didalam bidang politik, penyebaran nilai-nilai universal tentang demokratisasi dan hak asasi manusia. Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, bahwa globalisasi bukan hanya memiliki dampak negative bagi Negara-negara berkembang yang terkena dampaknya. Terdapat juga dampak positif dari globalisasi tersebut terhadap Indonesia, salah satunya adalah meningkatnya tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia dari 2,8 pada tahun 2010 menjadi 3.0 pada tahun 2011, meskipun angka tersebut masih jauh dari angka skor 5,0 dalam CPI tahun 2014 mendatang. Dengan meningkatnya tata keloloa pemerintahan yang baik di Indonesia sebagai akibat dari perkembangan globalisasi dan untuk menghadapi tantangan globalisasi itu sendiri, maka iklim investasi juga akan menjadi sehat yang berimplikasi kepada kesejahteraan masyarakat.

PENUTUP

Bagaimanapun besarnya tantangan globalisasi, nasionalisme berbangsa dan bernegara perlu dan sangat penting untuk dipertahankan, pada sisi lain Negara-negara tidak akan bisa mengelak dari arus globalisasi sebagai hal yang memang sudah terjadi dan semakin massif pergerakannya saat ini. Untuk itu, beberapa agenda yang perlu dilakukan oleh pemerintah, terutama bagi Indonesia sebagai Negara yang masing dalam tahap Negara berkembang adalah, pertama, mengejar ketertinggalan dalam ilmu dan teknologi. Kedua, memilih pemimpin yang memiliki wawasan dan visi kedepan yang jelas, memiliki etika kerja yang benar, memihak kepada rakyat dan berbagai kualifikasi penting lainnya yang diperlukan untuk perubahan menuju kemajuan. Ketiga, permbangunan ekonomi yang berorientasi kerakyatan. Keempat, perbaikan iklim untuk investasi, antara lain dengan reformasi birokrasi dan transparansi pemerintahan. Kelima, pemberdayaan berbagai potensi daerah, baik yang menyangkut SDM maupun SDA.

“siapakah kita sebenarnya?” Pertanyaan ini merupakan sesuatu yang layak dipertanyakan saat ini mengingat fenomena meluasnya interaksi antara umat manusia yang telah berimplikasi pada mengaburnya identitas kebangsaan. Kebanggaan King Richard II mungkin adakan mendapat tantangan bila sang Raja telah menggunakan teknologi Blacberry ataupun Internet. Globalisasi adalah fenomena yang tidak terelakkan dan semakin meluas yang dipicu oleh kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi. Pergerakan barang, jasa dan manusia beserta gagasan-gagasannya telah mengaburkan batas-batas fisik geografis Negara-negara dan membawa perubahan-perubahan secara signifikan dalam berbagai bidang. Dalam hal ini bukan berarti Negara menjadi tidak penting, tetapi persoalan pada apa yang perlu dilakukan oleh Negara dengan perubahan-perubahan di tingkat internasional serta respon yang tanggap dan positif dari Negara yang bersangkutan. Pada gilirannya, masalah kedaulatan bangsa dan juga nasionalisme mulai dipertanyakan, apakah kemudian menghilang atau kemudian malah mengalami pergeseran dan perubahan yang berarah kepada penguatan.

Sebagai bangsa yang sedang berkembagn, Indonesia menghadapi tantangan globalisasi terutama dalam hal nasionalisme yang tengah dibangun. Nasionalisme diperlukan sebagai pilar utama persatuan dan identitas bangsa. Pada satu sisi globaliasi telah membawa dampak positif dalam perkembangan tata kelola pemerintahan. Namun secara umum, bangsa Indonesia masih dalam kondisi yang sangat rapuh dalam menghadapi arus globalisasi dengan segala aspeknya. Untuk itu, beberapa agenda penting ekonomi dan politik layak dipertimbangkan untuk tetap menegakkan rasa bangga dan identitas berbangsa dan bernegara Indonesia.

Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1984).

John T Rourke, International Politics on The World Stage, (Conecticut: The Dushkin Publishing Group, 1989) Hal. 133

Norman J Padelford dan George A Lincoln, The Dynamic of International Politics, (New York: The Macmillian Company, 1962) Hal. 145

William Bloom, Personal Identity, National Identity and International Relations, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990) Hal. 56

Benedict Anderson, Imagined Communities Reflections on The Origin and Spread of Nationalism (London: Thetford Press Limited, 1983).

Report by a study group of members of the Royal Institute of International Affairs (London/New York, 1939) Hal 17, dalam Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 1999) Hal. 227

Sartono Kartodirdjo, Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Keadaran dan Kebudayaan Nasional (Yogyakarta: Aditya Media, 1993)

Jack Snyder, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah : Demokratisasi dan Konflik Nasionalis, (Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2003)

Muhammad AS Hikam, Politik Kewarganegaraan : Landasan Demokratisasi di Indonesia, (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999)

Ibid, Hikam, Hal 97

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun