Mohon tunggu...
Walentina Waluyanti
Walentina Waluyanti Mohon Tunggu... Penulis - Menulis dan berani mempertanggungjawabkan tulisan adalah kehormatan.

Penulis. Bermukim di Belanda. Website: Walentina Waluyanti ~~~~ Email: walentina.waluyanti@upcmail.nl ~~~ Youtube channel: Kiki's Mom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Polemik Nusantara: Pentingnya Melindungi Nama Asli Wilayah

23 Januari 2022   17:47 Diperbarui: 26 Januari 2022   01:40 2096
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Nusantara, ibukota baru dari Indonesia. (Sumber: thejakartapost)

Oleh: Walentina Waluyanti

Pemakaian nama Nusantara sebagai nama baru untuk ibu kota Indonesia, memang unik. Biasanya setelah nama suatu kota sudah eksis, barulah nama kota itu menginspirasi untuk dijadikan nama restoran, nama hotel, nama jalan.

Uniknya, ketika Nusantara belum eksis menjadi nama ibu kota, tapi jauh sebelumnya, sudah keburu banyak restoran dan hotel, juga nama jalan, pakai nama Nusantara.

Kata Nusantara memang sudah lama dikenal. Tetapi secara formal, sebelumnya tidak ada wilayah di Indonesia yang bernama Nusantara. Kata Nusantara sering digunakan untuk menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan.

Asal-usul nama Nusantara sudah banyak dibahas, secara etimologis berasal dari kitab Negarakertagama, rasanya tidak perlu lagi diulangi di sini.

Yang menjadi pertanyaan, apa sebetulnya alasan sehingga nama asli wilayah ibu kota tidak digunakan sebagai nama ibu kota? Apakah karena lokasi ibu kota Nusantara terletak di dua wilayah? Yaitu di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara?

Oleh karena terletak di dua wilayah, sehingga tidak praktis menggabungkan kedua nama itu menjadi nama wilayah?

Apapun nama yang dipilih, misalnya "Kutai" atau "Kutai Penajam", seyogianya identitas asli wilayah tersebut tetap dilekatkan. Nama wilayah tidak sekadar nama. Nama wilayah juga menyimpan jejak budaya, aspek historis, dan kearifan lokal di baliknya.

Tentu saja nama Nusantara juga menyimpan sejarah panjang di baliknya. Tetapi Nusantara bukanlah nama asli wilayah ibu kota baru.

Memang nama Nusantara sudah resmi ditetapkan sebagai nama ibu kota negara. Tetapi ini tidak berarti menutup kemungkinan untuk penggantian nama di kemudian hari.

Nama Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan, pernah diganti karena polemik. Pertama namanya Makassar. Kemudian diganti menjadi Ujung Pandang. Lalu kembali lagi ke nama aslinya, Makassar.

Inilah alasan mengapa melindungi nama asli wilayah itu penting:

Nama Asli Wilayah sebagai Dokumentasi Sejarah

Meskipun William Shakespeare mengatakan apalah arti sebuah nama, tapi nama asli wilayah memang sangat berarti. Nama wilayah suatu tempat, meskipun itu adalah kabupaten sekalipun, adalah dokumentasi sejarah yang seharusnya dilindungi.

Ketika mengunjungi situs sejarah, orang tidak diperbolehkan mencungkil tembok situs dengan alasan untuk kenang-kenangan. Keaslian situs sebagai dokumentasi sejarah sedapat mungkin dipertahankan.

Foto: Nusantara, ibukota baru dari Indonesia. (Sumber: thejakartapost)
Foto: Nusantara, ibukota baru dari Indonesia. (Sumber: thejakartapost)
Begitu juga dengan nama asli wilayah ibu kota. Dengan menggantinya begitu saja, tanpa memperhitungkan identitas lokal, sama saja dengan "mencungkil" jejak sejarah sehingga keasliannya menjadi berkurang.

Jika nama Kutai misalnya tetap dipertahankan, maka hanya dari satu nama itu saja, akan banyak mengungkap jejak budaya, peradaban, peristiwa historis setempat. 

Nama asli yang merepresentasikan identitas setempat, akan menimbulkan keingintahuan untuk menyusuri jejak sejarah yang pernah ada di wilayah tersebut.

Justru ada alasan yang kuat untuk mempertahankan nama asli wilayah di ibu kota baru. Karena di wilayah Kalimantan inilah, bukti-bukti sejarah menunjukkan kerajaan tertua di Indonesia (terutama yang bercorak Hindu), terletak di Kalimantan. (Sumber: Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia, Sejarah Nasional Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2008)

Nama Asli Wilayah sebagai Warisan Budaya 

Nama asli wilayah bisa mencerminkan keberadaan manusia dengan lingkungannya. Dengan demikian nama asli wilayah menunjukkan sifat-sifat dari budaya setempat.

Menurut antropolog Koentjaraningrat, di dalam kebudayaan bisa dijumpai gagasan, rasa, tindakan, dan karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Nama asli wilayah bisa menjadi titik awal untuk menelusuri kebudayaan setempat yang di dalamnya ada aspek-aspek yang disebutkan Koentjaraningrat di atas.

Dari nama asli wilayah, bisa ditelusuri bagaimana kehidupan masyarakat pada ratusan bahkan ribuan tahun sebelumnya. Bagaimana perjalanan budaya yang membentuk suatu wilayah hingga akhirnya lahir susunan masyarakat seperti sekarang.

Misalnya nama Jakarta bisa menguak bagaimana kota ini pada awal terbentuknya dan kehidupan masyarakatnya pada masa lalu. Mulai dari ketika Jakarta masih bernama Sunda Kelapa. Lalu menjadi Jayakarta, Batavia, Jakarta dan akhirnya menjadi DKI Jakarta seperti sekarang.

Sebelum lahirnya peradaban modern di suatu wilayah, tentu tidak tidak terlepas dari perjalanan budaya yang membentuk suatu wilayah dan struktur masyarakatnya.

Dari nama "Kutai", orang bisa bisa mengulik bagaimana asalnya hingga Mulawarman disebut sebagai raja terbesar di Kerajaan Kutai. Bagaimana susunan pemerintahan dan kehidupan keagamaan pada masa itu, pengaruh budaya India pada kerajaan, dan seterusnya.

Nama Asli Wilayah sebagai Sumber Linguistik

Nama asli wilayah mencerminkan asal-usul suatu bahasa. Dan bahasa adalah warisan budaya. Perkembangan zaman membuat bahasa bisa menjadi warisan yang rentan untuk menjadi punah.

Oleh karenanya penggunaan nama asli wilayah, merupakan salah satu cara untuk menghindari kepunahan ini. Karena dari satu nama wilayah saja, bisa ditelusuri asal-usulnya secara etimologis. Dan dari penelusuran itu, bisa ditemukan asal kata-kata yang saling berkaitan satu sama lain.

Dari kata-kata yang saling berhubungan, bisa ditelusuri bahasa yang pernah dipakai pada masa lampau, akar bahasa tersebut, dan latar belakang budaya yang memengaruhi.

Dengan demikian, penelusuran linguistik ini juga bisa mengungkap latar belakang budaya dan peradaban suatu suku bangsa.

Melindungi Nama Asli Wilayah adalah Tugas Negara

Ketika nama suatu wilayah tidak dipertahankan, maka nama asli tersebut akan terlupakan. Sehingga nilai budaya, linguistik, historis di balik nama tersebut perlahan memudar, dan akibatnya susah ditransmisikan ke generasi berikutnya.

Sudah menjadi tugas negara untuk mempertahankan dan melindungi nama asli suatu wilayah. Nama-nama asli wilayah adalah salah satu kekayaan budaya, sudah selayaknya warisan budaya ini tetap dilindungi agar tidak punah.

Keaslian nama wilayah adalah sumber budaya yang penting, sumber kearifan lokal yang mengidentifikasi keunikan suatu masyarakat di suatu wilayah.

Struktur pemukiman dan perkembangan ekonomi kadang membuat aparatur negara mengubah nama wilayah. Pengubahan nama wilayah, sebaiknya mempertimbangkan aspirasi masyarakat setempat.

Mungkin hal ini tidak bisa disamakan dengan penggantian nama Batavia menjadi Jakarta. Ketika itu orang Indonesia tidak terima Jakarta dinamakan Batavia. Karena nama Batavia adalah nama Belanda dan dinamakan oleh orang Belanda. Sedangkan nama Nusantara, bukankah dinamakan oleh orang Indonesia sendiri dan nama asli Indonesia?

Tetapi jangan lupa, setelah nama Batavia dihilangkan, nama yang digunakan kembali adalah nama yang mendekati aspek budaya dan historis wilayah setempat.

Memberi nama baru dan membuat nama asli wilayah hilang begitu saja, apakah sudah memperhitungkan potensi gejolak yang bisa timbul pada masyarakat setempat? Sekarang ini sudah terdengar sentilan-sentilan dari masyarakat setempat di media sosial, "Kami hanya rakyat kecil, cuma bisa terima saja." Ini salah satu bentuk protes halus dari mereka.

Isu-isu tentang Jawanisasi pun terangkat kembali. Isu Jawanisasi ini pernah mengemuka pada masa pemerintahan Soeharto. Ketika itu penggalakan dan penyebaran unsur Jawa merasuk ke banyak aspek ke daerah-daerah lain di luar Jawa.

Ketika ada sejarawan yang membantah isu Jawanisasi dengan memberi pendapat berbeda bahwa nama "Nusantara" berasal dari Kutai, argumen ini tetap tidak bisa meyakinkan masyarakat setempat.

Kenyataannya memang belum pernah ada tempat di Indonesia, juga di Kalimantan yang bernama Nusantara. Kalau nama restoran, nama hotel, dan nama jalan, memang iya.

Adanya kalangan masyarakat setempat yang tidak bisa menerima nama daerah mereka diganti begitu saja, tetap menjadi masalah yang harus diperhitungkan.

Komentar "Jawanisasi" dari sejarawan JJ Rizal terkait nama "Nusantara", tidak bisa diredam begitu saja dengan cara mengklaim kata Nusantara berasal dari Kutai. Bukan itu masalahnya.

Masalah utamanya adalah faktor historis dan budaya setempat yang direpresentasikan oleh nama wilayah tersebut adalah alasan utama mengapa nama asli suatu wilayah seharusnya tetap dilindungi dan dipertahankan.***

(Penulis: Walentina Waluyanti)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun