Penulis: Walentina Waluyanti
Menulis saja sudah sulit. Apalagi menulis setiap hari. Orang yang paham sulitnya menulis, tidak akan mudah mengucapkan, "Menulis tiap hari, tulisannya kok begitu-begitu saja!"
Kalaupun kalimat di atas diucapkan, tentu ada konteksnya. Paman saya mantan wartawan. Dari muda sampai tua, sudah pensiun, ia terus menulis. Setelah pensiun, setiap hari ia keasyikan menulis di blognya.
Tapi meskipun sudah menulis setiap hari dari muda sampai tua, ia malah diledek saudaranya, "Sudah menulis setiap hari seumur hidup, tulisannya kok begitu-begitu saja sih?"
Ledekan ini secara tersirat bisa berarti, "Sesuatu yang dilakukan setiap hari bukankah seharusnya membuat seseorang semakin mumpuni?'
Paman saya membela diri sekenanya, "Masih mending saya, daripada kalian. Cuma bisa ngomong. Coba kalian nulis setiap hari. Iso opo ora?
Menulis, Pelajaran Seumur Hidup Tanpa Henti
Orang cenderung berekspektasi tinggi terhadap penulis yang sudah berpengalaman, produktif, menulis setiap hari, apalagi kalau sudah memasuki usia "senior".
Tetapi zaman sudah berubah. Faktor usia tidak selalu seiring sejalan dengan keterampilan menulis.Â
Kita tahu, banyak penulis berusia muda, kemampuan menulisnya sangat mengagumkan, dengan kematangan yang bahkan bisa saja melebihi penulis sepuh.