Penulis: Walentina Waluyanti
Buku berjudul "Kompasiana" yang berisi kumpulan artikel pendiri Kompas PK Ojong, adalah salah satu benda yang saya bawa dari Indonesia ketika puluhan tahun lalu pindah dari Indonesia ke Belanda.
Saat buku tadi saya boyong ke Belanda, belum lahir yang namanya blog kroyokan "Kompasiana" ini. Tidak saya sangka jika bertahun-tahun kemudian saya terdampar di Kompasiana.
Sebetulnya alasan utama saya menulis di Kompasiana, karena tempat yang menaunginya, yaitu Kompas adalah nama yang sudah sangat akrab di telinga saya sejak kanak-kanak.
Ketika masih di TK, gambar yang saya buat sempat dimuat di rubrik anak-anak di Kompas, tahun 1970. Saya menggambar diri saya sendiri dan adik yang berdiri di depan rumah, melambai pada ayah yang akan berangkat kerja.
Pada awal tahun 1970-an, sebelum lahirnya majalah Bobo, di Kompas sempat ada rubrik untuk anak-anak yang memuat gambar-gambar yang dikirim oleh anak-anak, juga ada cerita untuk anak-anak.
Sejak SMP saya sudah terbiasa membuat kliping artikel-artikel menarik di Kompas. Kebiasaan ini berlanjut hingga mahasiswa.
Sedikit banyak kebiasaan saya menulis (sebelum di Kompasiana pun saya sudah menulis) bertumbuh karena sejak kecil, remaja, dan bertumbuh dewasa sudah gemar membaca artikel-artikel di Harian Kompas.
Ketika Centang Mendadak Lenyap dari Akun Saya
Sejak 2013, akun saya sudah tervalidasi di Kompasiana. Dan sejak pertama menulis di Kompasiana hingga sekarang, saya menggunakan nama asli saya, Walentina Waluyanti.
Setelah status akun saya sudah tervalidasi sejak tahun 2013, centang saya tiba-tiba lenyap dari Kompasiana beberapa bulan lalu. Ini artinya akun saya tiba-tiba berubah menjadi tak tervalidasi. Saya sudah pernah menanyakan kepada pengelola Kompasiana, mengapa centang saya hilang.
Pengelola Kompasiana sangat responsif, memberikan reaksi yang sangat cepat. Saya menerima jawaban bahwa ada perubahan peraturan. Saya disarankan untuk melakukan validasi sekali lagi, dan akan menerima centang biru.
Bukan hanya kali ini pengelola sangat responsif. Beberapa kali pertanyaan saya dijawab dengan cepat, meskipun akun saya sudah tidak bercentang.
Pernah saya mencoba memvalidasi. Tapi selalu gagal. Karena saya harus mengisi kolom provinsi, kota, kecamatan. Bagaimana mungkin saya yang tinggal di Belanda bisa mengisi kolom ini? Padahal tanpa mengisi kolom ini, akun tidak bisa tervalidasi.
Setelah mencoba dan gagal tervalidasi, hal ini tidak begitu lagi saya persoalkan. Saya belum menanyakannya ke pihak pengelola. Meskipun tentunya saya berharap akun saya bisa kembali tervalidasi seperti tahun 2013. Tapi sebagai tamu di Kompasiana, saya mesti taat pada aturan di Kompasiana. Kalau memang tidak bisa tervalidasi, apa boleh buat.
Nyaman Menulis di Kompasiana
Saya betah menulis di Kompasiana. Kompasiana welcome terhadap tulisan-tulisan saya, meskipun sudah tak lagi tervalidasi.
Pernah karena kesibukan penulisan buku dan riset, sempat saya vakum agak lama di Kompasiana. Setelah pada tahun lalu saya kembali menulis di Kompasiana, saya menemukan kenyamanan menulis. Kompasiana semakin maju dan berkembang.
Di sini saya bertemu banyak penulis dengan isi kepala beragam. Buat saya, ini adalah sesuatu yang bisa menambah wawasan. Dari mereka saya belajar banyak hal, ada hikmah yang bisa dipetik.
Setelah akun saya sekarang tidak tervalidasi, saya tidak merasa didiskriminasi oleh pengelola Kompasiana. Artikel saya tetap diberi tempat. Nama saya pernah dicantumkan sebagai salah satu Kompasianer Pilihan. (Tentu label ini belum apa-apa dibanding pencapaian yang telah diraih oleh para Kompasianer hebat lainnya).
Don't Judge a Book by Its Cover
Nama akun saya di Kompasiana adalah nama saya sebagaimana tertera di akte lahir. Artinya saya menulis tanpa menggunakan nama samaran. Tentu tidak ada salahnya menulis dengan nama samaran.
Bagi saya yang penting dari sebuah tulisan, adalah materinya. Apakah itu ditulis oleh nama samaran atau bukan nama samaran, apakah akun itu tervalidasi atau tidak tervalidasi... pada akhirnya isi tulisan itulah yang bergaung.
Saya sering melihat akun-akun lain yang tidak tervalidasi di Kompasiana, tulisannya bisa dimuat sebagai artikel utama. Ini artinya Kompasiana cukup adil, dan tidak berprasangka terhadap akun yang tidak tervalidasi.
Kalau pengelola Kompasiana sendiri tidak berprasangka terhadap akun tak tervalidasi, bagaimana dengan Kompasianer sendiri?
Saya yakin penulis Kompasiana ini tidak ada yang sampai menasbihkan diri sebagai "bangsawannya para penulis", sehingga kalau akun seseorang di Kompasiana belum divalidasi, katanya "Itu sih namanya bukan penulis."Â Weleh... weleh... weleh...
Jangan buru-buru berprasangka terhadap akun yang tidak tervalidasi. Tidak otomatis bahwa tidak tervalidasi itu berkonotasi negatif. Don't judge a book by its cover. Jangan menjatuhkan syak wasangka hanya dari tampak luar.
Tidak Semua Orang Mudah Menyerahkan Kartu Identitas
Ada bermacam-macam alasan dan faktor mengapa orang tidak memvalidasi akunnya. Ada teman saya sesama orang Indonesia yang tinggal di Belanda, tertarik untuk menulis di Kompasiana. Tapi menjadi ragu setelah mendengar syarat validasi akun dengan menyertakan kartu identitas.
Keraguan teman saya bukan karena tidak percaya pada Kompasiana. Sebagai orang yang tinggal di Belanda, kekhawatirannya bisa dimaklumi.
Maklum, warga Belanda sudah terbiasa dijejali kampanye pemerintah Belanda, yang mengimbau warganya untuk tidak mudah menyerahkan fotokopi kartu identitas begitu saja. Bahkan tidak semua kantor resmi diizinkan meminta fotokopi kartu identitas warga.
Di Belanda, memang kantor-kantor resmi yang boleh meminta fotokopi kartu identitas, hanya kantor-kantor yang ditentukan oleh undang-undang.
Ada institusi yang hanya  diperbolehkan menjalankan fungsi mengontrol kartu identitas, tapi tidak berhak menerima fotokopi kartu identitas itu.
Kalaupun warga Belanda merasa terpaksa harus menyerahkan fotokopi kartu identitasnya, maka pemerintah menyediakan aplikasi app untuk membuat fotokopi kartu identitas.
Dengan menggunakan aplikasi app dari pemerintah ini, warga bisa melindungi beberapa data penting dari kartu identitasnya, sehingga tidak semua data perlu diperlihatkan.
Aplikasi app dari pemerintah tadi, bahkan juga disertai watermark yang bertuliskan untuk kepentingan apa atau kepada siapa kartu identitas itu digunakan.
Applikasi app untuk melindungi kartu identitas warga ini untuk mengantisipasi kebocoran data yang bisa saja terjadi tanpa disengaja, dan akhirnya bisa saja dimanfaatkan oleh pihak luar secara tidak bertanggungjawab.
Inovasi Kompasiana tentang Validasi dan Permintaan Kartu Identitas?
Demikianlah, selain hambatan teknis, ada juga hambatan psikologis mengapa orang ragu memvalidasi akunnya di Kompasiana.Â
Tiap negara mempunyai kebijakan yang berbeda dalam hal menjaga kerahasiaan kartu identitas warganya. Sementara itu, Kompasiana adalah tempat bagi setiap orang dari berbagai negara. Lain negara, lain pula sudut pandang dalam menangani hak privacy warga dalam hal kartu identitas ini.
Mungkin di masa depan akan ada inovasi baru dari Kompasiana (?), bagaimana akun tetap bisa tervalidasi dengan tetap memberi hak kepada warga untuk bisa memiliki privacy menjaga kerahasiaan kartu identitasnya, demi keamanan warga juga.
Kembali ke soal validasi akun di Kompasiana, pada akhirnya umumnya tujuan orang membuka akun di Kompasiana adalah untuk menulis. Dan Kompasiana memberi tempat untuk itu, baik bagi yang tervalidasi maupun yang tidak tervalidasi.
Saya sepakat, lebih baik kalau akun itu tervalidasi. Tetapi kalau tidak tervalidasi, jangan buru-buru berprasangka terhadap pemilik akun.
Tentu saja saya cukup tahu diri, dengan akun saya yang tidak tervalidasi, langkah saya terbatas di Kompasiana. Saya tidak bisa "menyentuh" peluang-peluang yang ditawarkan. Tetapi ini bukanlah masalah besar, selama saya masih bisa menuangkan pikiran melalui tulisan di Kompasiana ini. ***
(Penulis: Walentina Waluyanti)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H