Kapan sebetulnya penulis tidak perlu mencantumkan sumber? Zaman sekarang ini melakukan plagiat adalah pekerjaan bodoh. Pada zaman teknologi informasi yang sudah begitu canggih ini, semuanya dengan mudah dapat ditelusuri.
Jika ada penulis yang tidak mencantumkan sumber pada tulisannya, bisa karena ada alasan yang mendasarinya. Yaitu pertama, informasi yang ditulisnya sudah menjadi pengetahuan umum atau sudah menjadi fakta yang dikenal secara luas. Kedua, informasi tersebut dapat dengan mudah diakses oleh publik dari berbagai sumber. Ketiga, fakta-fakta/pengetahuan publik yang sudah tersebar luas dan bisa diakses dari berbagai sumber tersebut, ditulis dengan kata-kata sendiri oleh penulisnya (bukan copy paste).
Menulis berdasarkan bacaan asing bukan berarti menulis karya terjemahan. Jika misalnya saya menulis tentang kepahlawanan Abraham Lincoln, ini dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja di Wikipedia. Baik  yang berbahasa Indonesia ataupun versi bahasa asing. Pembaca pun bisa mengecek kembali di Wikipedia, apakah yang saya tulis itu benar atau tidak.
Jangan lupa, sumber-sumber yang sudah umum diketahui dari Wikipedia berbagai bahasa itu, umumnya ditulis secara ilmiah dengan "dingin". Belum tentu orang tertarik untuk membacanya. Di sinilah peran penulis/jurnalis untuk mengolah bahan mentah ini menjadi suguhan yang menarik untuk dibaca. (Sebagai catatan, ini adalah salah satu kekuatan PK Ojong. Ia bisa membahas masalah berat dari berbagai aspek dengan gaya menarik. Termasuk kisah sejarah. Mudah dicerna pembaca. Atau menurut Jakob Oetama, "Gayanya yang lugas, kuat disertai pilihan kata tepat merupakan cirinya yang lain).
Meskipun suatu referensi hanya digunakan sebagai ilustrasi tulisan, dalam hal tertentu penulis tetap harus mengutip sumber. Misalnya saya mengutip kata per kata, atau  kalimat utuh dari ide, pendapat, gagasan atau argumen, maka pencantuman sumber adalah wajib. Karena kata-kata atau kalimat itu bukan ide, bukan gagasan dan bukan argumen saya sendiri.
Jika saya menulis tentang holokaus, maka perlu ada kesepakatan yang sama antara saya dan pembaca tentang apa yang disebut holokaus. Nah, untuk itu saya mengutip definisi holokaus. Dan sebagai pertanggungjawaban untuk keakuratan definisi itu, saya menyebut sumbernya adalah dari Wikipedia. Ini untuk mengingatkan bahwa definisi tersebut sudah menjadi kesepakatan umum.
Bagaimana dengan menulis di media warga seperti Kompasiana? Menulis di Kompasiana bersifat suka rela. Menulis di sela-sela waktu luang. Menulis bukan untuk maksud-maksud komersil. Ya, syukur-syukur kalau dapat rewards. Tapi umumnya bukan itu tujuan utamanya. Menulis bagi Kompasianer umumnya merupakan passion. Mereka menulis karena senang menulis, tidak bermaksud membuat karya ilmiah. (Kalau hasil tulisannya menjadi seperti karya ilmiah, ini lain perkara).
Kompasianer memang tidak terikat aturan-aturan formal. Misalnya aturan yang mengikat akademisi saat menulis karya ilmiah. Atau aturan yang harus dipatuhi saat menulis karya untuk dikomersilkan. Meskipun demikian, prinsip menghindari plagiarisme tetap harus dipegang oleh semua penulis. Ini prinsip utamanya.
Yang harus diingat, mencantumkan sumber tidak serta merta membuat sebuah karya tulis bisa dijamin bukan karya plagiat. ***
(Penulis: Walentina Waluyanti)