Kompasiana dan masalah hak cipta? Sejak 54 tahun lalu, hal ini pernah ditulis oleh PK Ojong di rubrik Kompasiana. Tulisan ini ditulis tanggal 21 Desember 1966. Tentang ini saya baca melalui buku berjudul "Kompasiana" (1981).
Buku ini berisi kumpulan tulisan PK Ojong di rubrik Kompasiana di harian Kompas (1966-1971). PK Ojong adalah salah satu pendiri Kelompok Kompas Gramedia bersama Jakob Oetama. Saya merasa beruntung memiliki buku "Kompasiana" ini. Tidak saja karena saya bisa mempelajari pikiran-pikiran seorang wartawan kawakan sekelas PK Ojong. Tetapi juga saya bisa menelusuri pengamatan tajam PK Ojong tentang aktualitas pada zamannya.
Di buku "Kompasiana", PK Ojong menulis antara lain ketersinggungannya terkait masalah hak cipta (Bab I hal. 32). Ia merasa dianggap beritikad buruk oleh penulis dari harian lain. Ia menulis, "Kalau tidak tentu ia tak menyebut-nyebut soal 'hak cipta' yang dapat diterjemahkan: Ah, penulis Kompasiana itu main plagiat." Selanjutnya di tulisannya, PK Ojong mengklarifikasi bahwa ia sama sekali tidak melakukan plagiat seperti yang dituduhkan.
Penulis yang berintegritas seperti PK Ojong, tentulah merasa sangat tersinggung jika dituduh melakukan plagiat.
Dan sekarang tahun 2020. Kompasiana yang tadinya nama sebuah rubrik di harian Kompas, kini menjelma menjadi media warga. Masalah hak cipta masih tetap menjadi masalah yang aktual di Kompasiana hingga kini.
Saya yakin setiap penulis memahami perlunya mengutip sumber tulisan. Tetapi kalau ada penulis yang tidak mengutip sumber untuk informasi/kejadian yang ditulisnya, apakah ini bisa dipukul rata melanggar hak cipta?
Goenawan Mohamad dan Putu Wijaya adalah penulis, sastrawan, jurnalis yang banyak menulis tulisan-tulisan lepas. Goenawan Mohamad terkenal dengan tulisan-tulisannya di rubrik Catatan Pinggir di majalah Tempo. Begitu pula Putu Wijaya yang selain menulis karya sastra, juga banyak menulis artikel-artikel lepas. Â
Kedua tokoh di atas banyak menyertakan kejadian-kejadian historis dalam tulisannya. Tetapi orang tidak mempersoalkan tulisan-tulisan mereka itu tidak menyertakan sumber. (Saya pernah menulis tentang hal ini 10 tahun lalu dalam tulisan saya berjudul "Menjauhi Jurnalisme Seolah-olah").
Di lemari buku koleksi saya, ada buku-buku karya Romo Y.B. Mangunwijaya. Salah satunya ada buku berjudul "Di Bawah Bayang-bayang Adikuasa". Isi buku ini bukan karya fiksi. Buku ini merupakan catatan perjalanan Romo Mangun ke berbagai negara di dunia.
Dengan tidak menyertakan sumber kutipan, apakah penulis-penulis sekaliber Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Romo Mangunwijaya itu bermaksud tidak menghormati hak cipta? Tentu tidak demikian.