Mohon tunggu...
Wakijo Salim
Wakijo Salim Mohon Tunggu... -

Sastra, Budaya, dan Kadang Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kala Seorang Ibu Bersujud di Kaki Jokowi

10 Maret 2019   19:28 Diperbarui: 10 Maret 2019   19:55 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Legalisasi aset sendiri bukan program baru. Sejak 1980-an program ini digulirkan dengan harapan memfasilitasi pembangunan nasional. Promosi program tersebut dijalankan dengan Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) pada 1981 dan Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (Larasita) tahun 2006.

Di era Jokowi, penerbitan sertifikat tanah untuk menjamin kepastian hukum sesuai amanat pasal 19 ayat (1) UUPA 1960, digenjot habis-habisan. Sebanyak 60 juta sertifikat ditargetkan rampung terbagi pada 2021. Bahkan Jokowi mengklaim saban hari akan menjamin pemberian sertifikat tanah pada warga. Lagi-lagi, dalil pembagian sertifikat tanah laiknya lagu lama yang dinyanyikan Soeharto pada 1980-an, yakni mendukung pembangunan nasional. Sebab, sertifikat tanah nantinya dapat diagunkan ke bank konvensional guna memperoleh kredit.

"Rakyat nantinya bisa menggunakan sertifikat tersebut untuk agunan saat meminjam uang di bank, demi menjalankan bisnis atau investasi," celoteh Jokowi.

Pernyataan tersebut menuai respons miring dari sejumlah pengamat agraria. Program itu sendiri dinilai gagal mencapai tujuan untuk meningkatkan pembangunan, lantaran ketimpangan tanah dan jurang kemiskinan justru makin lebar.

Legalisasi aset yang digadang-gadang jadi jawaban reforma lahan justru kian jauh dari cita-cita itu. Sejumlah kasus ajudikasi tanah menafikan kebijakan redistribusi agraria, sebab hanya memberi pelayanan pada mereka "yang memiliki tanah", bukan pada mereka "yang tidak memiliki tanah".

Dalam perspektif lebih luas, sebagaimana dikutip dari alinea.id, jika struktur ekonomi suatu negara tidak kondusif bagi ekonomi masyarakat biasa yang memiliki sedikit tanah, maka yang terjadi justru pelepasan sertifikat tanah dengan mudah. Apalagi, kini dengan kepungan pembangunan fisik, pemilik tanah seringkali tak punya pilihan untuk mempertahankan aset mereka. Ditambah, dalam beberapa kasus, negara lewat perpanjangan tangannya di daerah acap kali pasang badan dalam usaha merampas tanah.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, ada sejumlah kasus perampasan tanah, termasuk tanah yang telah dilegalisasi dan tanah terlantar. Misalnya kasus perampasan tanah disertai ancaman di Kelurahan Bangkala, Maiwa, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Sejumlah petani diteror aparat Brimob karena dinilai melakukan aktivitas pertanian ilegal di atas tanah Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV. Padahal izin perusahaan tersebut dinyatakan telah kedaluwarsa.

Demikian halnya dengan kasus perampasan tanah di Kulon Progo, Yogyakarta akibat mega proyek NYIA. Untuk pembangunan bandara tersebut, Angkasa Pura membutuhkan lahan seluas 637 hektar. Imbasnya, 2.875 Kepala Keluarga (KK) kehilangan lahan dan tempat tinggal. Pembebasan lahan diwarnai tersendatnya relokasi sebanyak 11.500 jiwa di enam desa. Proses ganti rugi yang diperhalus menjadi 'ganti untung' pun urung diterima. Sebaliknya pembentukan opini publik Angkasa Pura ihwal pembangunan bandara justru tak relevan. Sebab, ia hanya akan menumpuk modal di titik tertentu, sehingga ketimpangan ekonomi di Yogyakarta meroket di posisi tertinggi kedua setelah Papua Barat.

Setumpuk problem agraria yang membayangi ini justru jadi indikasi kuat, sertifikasi tanah bukan jawaban untuk mencapai cita-cita reforma agraria. Sertifikasi seharusnya diletakkan dalam konteks penataan ulang penguasaan dan pemilikan tanah, bukan terpisah darinya.Istilahnya, legalisasi aset mengarah pada peningkatan hak atas orang yang telah mempunyai tanah, namun belum terformalisasi lewat sertifikat. Sementara, reforma agraria bersifat 'penciptaan hak atas tanah', terhadap orang yang sebelumnya belum punya tanah. Bedanya jauh sekali.

Sertifikasi atau legalisasi aset adalah kebijakan terhadap orang yang sudah punya tanah, tidak peduli punya tanah sempit atau luas. Jika suatu desa misalnya ada yang punya tanah luasnya melebihi ketentuan jumlah maksimal atau abseente, tentu akan tetap dilegalkan. Dari sini sudah ketahuan, sertifikat tanah tidak dimaksudkan untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan pemilikan tanah di suatu tempat.

Dengan demikian, kebijakan yang digulirkan Jokowi saat ini adalah wujud kemunduran reformasi agraria.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun