Mudahnya mengaba rona agar menerbitkan bulan sabit pada kelam sebenarnya rasa, membohongi seluruh dunia dengan lihainya bersandiwara.
Berhasil mengelabuhi seluruh isi semesta adalah pencapaian besar dari perjalanan masa berjumpa purnama demi purnama.
Terus menyembunyikan jati sebuah hati agar tertopang ritme seperti yang seharusnya.
Namun, apa yang bisa mengubah sebuah rasa pemberian Tuhan ini sebenarnya tidak pernah ada.
Karena hati tidak dicipta untuk mudah dipaksa, dia ada dengan segala bentuk kebebasan yang pernah terwujud diseluruh semesta.
Jika rasa adalah anugrah dari pencipta, lalu mengapa harus memaksanya sedang dia sewujud cahaya yang hanya akan pudar saat Sang Pemiliklah yang memintanya.
Yang nyata ini hanya ilusi, yang jati adalah hati.Â
Yang tertawa hanya seorang pemain pengganti agar sang primadona tetap nyaman dalam kesunyian.
Yang tersenyum hanya sebuah lukisan yang menempel di dinding rona mencoba menutupi derasnya air pelipur lara.
Hati tetaplah hati, sepanjang usia raga tak pernah dia bisa dipaksa, saat telah terukir sbuah nama keabadianlah sebenar-benarnya sandiwara.
Yogyakarta
Saat-saat aku mengingatmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H