Fenomena post-truth menggejala di tengah loncatan era teknologi informasi dan digitalisasi yang mampu menciptakan realitas sendiri. Post-trust memanfaatkan medsos sebagai katalisator yang memiliki kontribusi besar dalam mengelolah rasa dan sentimen publik.Â
Dalam konteks pemilu seperti pilpres post-truth dijadikan sebagai metode proganda untuk mempengaruhi masyarakat (pemilih) dengan memasuki ruang rasa dan keyakinan agar berempati terhadap jargon dan agenda politik.Â
Situasi ini menjadi titik perjumpaan politik identitas dan garis pemisah polarisasi masyarakat dalam berbagai variannya. Negara bangsa bisa berlabel macam-macam, seperti antara lokal dan imigran atau antara muslim dan kafir.
Electoral Sydrome terus berlangsung paska tahapan pemungutan suara, ruang medsos terus menyuguhkan perdebatan, tudingan, makian, dan nyinyir soal Quick Count vs Real Count, kecurangan dan deklarasi kemenangan.Â
Narasi-narasi yang jauh dari makna pemilu sebagai pesta demokrasi yang sejatinya ajang kontestasi-ria, tetapi sebaliknya pemilu dimaknai tidah ubahnya perang. Tidak terkecuali perang lewat makian dan nyinyir di medsos yang bisa memperburuk mental bangsa yakni bangsa yang gampang baper dan susah move on.
Wallahu allam bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H