Mohon tunggu...
Alexander Aur
Alexander Aur Mohon Tunggu... -

Menekuni filsafat, mengajar, dan menulis hal-hal yang layak dan harus ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerja yang Manusiawi

21 November 2015   19:30 Diperbarui: 21 November 2015   20:06 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tidak pernah betul-betul merdeka tanpa kerja keras. ... saya menyerukan untuk bekerja keras, bahu-membahu, bergotong royong karena ini momen sejarah bagi kita semua untuk bergerak bersama dan untuk bekerja dan bekerja” – Presiden Joko Widodo.

Dalam pidato saat pelantikannya sebagai Presiden ke-7 Rebulik Indonesia, Joko Widodo menggemakan kembali visi pemerintahan yang dipimpinnya, yakni pemerintah yang bekerja. Visi itu merupakan perwujudan dari trisakti kedaulatan seperti yang diamanatkan oleh Soekarno: daulat politik, daulat ekonomi, dan daulat kebudayaan. Tidak saja pemerintah yang bekerja. Ia juga mengajak semua elemen bangsa untuk bergotong royong mewujudkan trisakti kedaulatan itu. Joko Widodo memastikan lagi hal itu dengan memberi nama Kabinet Kerja untuk tim kerjanya. Melalui gotong royong dan kerja keras, Joko Widodo dan Jusuf Kalla yakin bahwa Indonesia mampu bermetamorfosis menjadi negara yang bermartabat di mata negara-negara lain.

Jauh sebelum ia dilantik sebagai presiden, dalam berbagai kesempatan baik sebagai wali kota Solo, Gubernur DKI, maupun sebagai calon presiden, Joko Widodo sudah berulang kali menegaskan perihal kerja (keras). Dari penegasan dan ajakan sampai pada Kabinet Kerja yang dibentuknya, tampak jelas bahwa Joko Widodo memandang kerja sebagai penanda kemerdekaan manusia. Manusia sungguh-sungguh merdeka apabila bekerja. Ada dua hal penting yang tersirat di dalam pernyataan itu: kerja sebagai ungkapan kebebasan manusia dan kerja yang membebaskan. Kedua hal itu dapat dirangkum dalam satu hal: kerja yang manusiawi.

Kerja: Ungkapan Kebebasan Manusia
Salah satu hal yang membedakan manusia dan binatang adalah kerja. Manusia bekerja sedangkan binatang tidak bekerja. Pertumbuhan dan perkembangan binatang berdasarkan hasrat alamiah yang melekat padanya. Hasrat beroperasi dalam mekanisme stimulus dan respon. Dengan mekanisme itulah binatang menjalankan hidup dan merespon alam.

Manusia juga mempunyai hasrat alamiah yang melekat padanya. Tetapi pertumbuhan dan pekembangan manusia tidak melulu berdasarkan dorongan hasrat alamiahnya. Manusia menumbuhkan dan mengembangkan dirinya melalui kerja. Pada mulanya manusia bekerja mengelola alam untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Seiring dengan perkembangan pengetahuan, kerja merupakan ungkapan kebebasan manusia. Kerja merupakan ekstensi atau perluasan diri manusia.

Apakah pekerjaan yang dilakukan manusia Indonesia selama ini merupakan perluasan diri manusia? Kita bisa mengaca pada situasi para buruh pada masa-masa akhir kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Beberapa tahun terakhir ini gelombang demonstrasi buruh meningkat. Mereka menuntut supaya pemerintah dan pengusaha menetapkan standar upah buruh berdasarkan standar hidup layak. Joko Widodo pada permulaan jabatannya sebagai Gubernur DKI, turut merespon tuntutan kaum buruh itu dengan menaikan upah kaum buruh di DKI.

Kerja dan upah merupakan dua hal yang saling berkaitan. Tetapi berdasarkan aspek fundamentalnya masing-masing, kerja dan upah merupakan dua hal yang berbeda. Pertama, Upah yang diterima oleh seorang pekerja digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar: makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Jenis-jenis kebutuhan itu bertumpu pada hasrat. Adalah hal yang normal apabila hasrat mendorong manusia untuk memenuhinya. Meski demikian, hasrat tidak pernah terpenuhi secara tuntas. Sifat hasrat adalah selalu kurang. Semakin manusia memenuhi hasratnya, semakin tinggi pula hasrat menunjukkan ketidakterpenuhannya.

Apabila pekerja menggunakan upahnya dalam bingkai modus operandi hasrat tersebut, maka upah yang tinggi sekalipun tidak pernah akan cukup. Untuk mengatasi ketidak-cukupan ia bekerja lembur. Pada titik inilah, pekerja masuk dalam dua mata rantai masalah yang saling berhubungan: dorongan hasrat yang selalu minta dipenuhi dan kerja lembur. Karena upah normal (di luar lembur) tidak cukup maka ia bekerja lembur. Padahal kerja lembur merupakan pemaksaan terhadap batas maksimal kemampuan tubuh dan pikiran manusia dalam bekerja. Bersamaan dengan itu, upah dari kerja lembur digunakan untuk memenuhi hasrat yang pada hakekatnya tidak pernah terpenuhi secara tuntas.

Kedua, kerja merupakan tindakan khas manusia. Hanya manusia yang bekerja. Sebagai tindakan khas, kerja yang dijalankan manusia tidak sekedar untuk mendapat upah, melainkan lebih dari itu kerja merupakan perluasan diri manusia. Kerja merupakan ungkapan kebebasan manusia. Sebagai makhluk dinamis, manusia mengungkapkan hakekat dirinya melalui pekerjaan yang dilakukannya. Manusia menjadi subjek atas pekerjaan yang dilakukannya. Kerja – seperti yang diungkapkan oleh Johanes Paulus II dalam Ensiklik Laborem Exercens – merupakan aktualisasi diri manusia (actus personae). Manusia mencandra hakekat dirinya sebagai manusia melalui pekerjaannya.

Kerja dan upah mestinya memungkinkan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya secara maksimal. Baik kerja maupun upah yang diterimanya, memampukan manusia (pekerja) mengembangkan dimensi sosial, etis, dan religius dirinya. Dengan demikian, ia sungguh-sungguh menunjukkan jati dirinya sebagai makhluk bebas. Ia adalah tujuan dari pekerjaan, yakni menjadi semakin manusiawi.

Kerja yang Membebaskan
Kerja sebagai aktualisasi diri membebaskan manusia dari beberapa bentuk penjajahan. Pertama, bebas dari penjajahan oleh hasrat alamiah. Manusia memang memiliki hasrat dan mesti dipenuhi. Tetapi pemenuhan mesti berlangsung secara rasional yakni sejauh menyangkut kebutuhan-kebutuhan manusia dan membuatnya menjadi lebih baik. Pemenuhan hasrat bukanlah satu-satunya hakekat dan tujuan hidup manusia. Untuk itu, kerja yang dilakukan manusia mesti memungkinkan manusia mengembangkan dimensi sosial, etis, dan religius dalam dirinya.

Kedua, bebas dari kondisi tempat kerja dan beban kerja yang tidak manusiawi. Banyak orang bekerja dalam kondisi tempat kerja yang mengancam kesehatan dan keselamatan dirinya. Ditambah pula dengan beban kerja yang melampaui batas kemampuan fisik dan pikiran. Sering kali para pekerja tak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan dirinya. Dalam semangat kerja yang membebaskan, para pekerja mempunyai kesempatan untuk memulihkan kembali fisik dan pikiran manusia.

Ketiga, bebas dari belenggu kepentingan diri. Kerja yang membebaskan memungkinkan para pekerja membangun solidaritas. Kepedulian terhadap sesama pekerja yang berada dalam kesulitan dan terhadap orang-orang yang tidak/belum mendapat pekerjaan hanya mungkin terwujud kalau pekerja mengalami kerja yang membebaskan.

Kerja yang membebaskan juga merupakan cara berada manusia. Makna antropologis dari kerja ini menjadi kewajiban etis bagi pemberi kerja dan pekerja. Dengan demikian, hubungan antara pekerja dan pemberi kerja, bukan semata-mata hubungan yang menghasilkan keuntungan ekonomik, melainkan lebih dari itu adalah hubungan antarmanusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun