Sapaan Awal
Hidup berdampingan dengan ummat Islam merupakan hal yang biasa bagi setiap orang Indonesia yang beragama Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan agama-agama lain. Banyak orang yang keluarga intinya menganut berbagai agama. Sangat mudah kita jumpai dalam masyarakat Indonesia, dalam sebuah keluarga keluarga inti, baik orang tua dan anak-anak menganut agama yang berbeda-beda. Ada yang menganut Islam, ada yang menganut Katolik, ada yang menganut Protestan, ada yang menganut Budhha, ada yang menganut Hindu, dan sebagainya. Setiap orang yang menjadi bagian penting dari keluarga inti yang demikian, menjalankan ajaran-ajaran agamanya secara pribadi dengan kesadaran dan tanggung jawab yang paripurna.
Dalam konteks yang lebih luas, ada pula kerabat-kerabat keluarga yang berbeda agama. Dalam satu tali persaudaraan darah, ada keluarga-keluarga atau orang-orang yang menganut agama yang berbeda-beda. Pada acara-acara keluarga, keluarga-keluarga yang berbeda agama itu berkumpul dan mengalami semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Bisa jadi bahwa semangat kebersamaan dan kekeluargaan itu diwarnai pula dengan semangat keimanannya masing-masing.
Dalam konteks yang sangat umum dan luas, hidup bertetangga pun berada dalam perbedaan agama. Dalam satu RT dan/atau RW, terisi oleh keluarga-keluarga yang berbeda agama. Apa saja yang berlangsung dalam konteks hidup bersama sebagai warga RT dan/atau RW, bisa jadi dijalankan oleh setiap keluarga dalam semangat keimananannya masing-masing. Tidak saja dalam konteks hidup bersama dalam masyarakat, di institusi-institusi formal seperti perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga pemerintah pun diisi oleh pekerja-pekerja menganut agama berbeda-beda. Dalam menjalankan pekerjaan, bisa jadi bahwa mereka menjalankan pekerjaan dengan semangat keimanannya masing-masing dan dikombinasikan dengan semangat kerja yang ditanamkan oleh institusi-institusi tersebut.
Fenomena-fenomena tersebut merupakan kenyataan yang berlangsung dalam keseharian hidup orang-orang Indonesia. Berbagai fenomena itu, di satu sisi merupakan sebuah kenyataan yang dideskripsikan begitu saja. Sebuah kenyataan yang hadir begitu saja dan apa adanya. Di sisi lain, fenomena-fenomena itu juga dapat menjadi kesempatan untuk melakukan refleksi atau pemikiran yang lebih mendalam. Dengan merefleksikannya secara mendalam, kita berusaha dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ini: mengapa kita dapat hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda agama? Apakah hidup berdampingan seperti itu merupakan keniscayaan yang melekat pada manusia? Apa yang mendasari manusia sehingga ia tidak bisa mengelak dari hidup berdampingan yang demikian?Apa yang akan terjadi kalau kita tidak hidup berdampingan dalam berbagai perbedaan?
Deretan pertanyaan tersebut menjadi kemungkinan bagi setiap orang untuk menjawabnya secara utuh dan mendalam. Pertanyaan-pertanyaan tersebut juga menjadi daya dorong bagi setiap orang untuk belajar dari penganut agama-agama yang lain mengenai kewajiban-kewajiban yang dijalankan oleh mereka. Setiap orang dapat belajar dan merengkuh makna tertentu dari pengalaman religius yang dari penganut agama yang lain. Setiap orang pun dapat memberi corak positif tertentu pada pola penghayatan atau pelakukan kewajiban moral dijalankan oleh penganut agama-agama yang lain.
Tulisan ini merupakan sebuah wujud dari upaya belajar dan memberi corak tertentu pada kewajiban berpuasa dalam Islam. Tentu upaya belajar dan pemberian corak pada puasa dalam Islam ini, berpijak pada perspektif etika formal atau etika kewajiban yang dipikirkan oleh filosof Immanuel Kant. Mengapa belajar dan memberi corak positif pada puasa Islam? Alasan pertama bersifat subjektif. Sebagai penganut Katolik, saya hidup dalam keluarga inti yang kerabat-kerabatnya beragama Islam. Banyak saudara yang beragama Islam. Kewajiban-kewajiban yang mereka jalankan sebagai ummat Islam mempunyai dampak etis bagi saya. Mengapa etika kewajiban menjadi pijakan untuk memberi corak pada puasa Islam? Dengan berpijak pada etika kewajiban Immanuel Kant, kita dapat menangkap hakekat dari puasa Islam. Menangkap hakekat dari puasa Islam merupakan sebuah wujud konkrit dari alasan belajar tentang puasa Islam.
Dua Corak Imperatif Moral Puasa
Bagi ummat Islam puasa merupakan ibadah. Oleh karena itu, setiap ummat Islam wajib menjalankan puasa sekurang-kurangnya puasa makan, minum, sex selama satu hari penuh selama sebulan penuh. Bentuk puasa semacam itu merupakan cara ummat Islam untuk mengolah kedirian manusia. Puasa itu berlangsung dalam bingkai hidup pribadi, hidup sosial, dan hidup religius. Puasa dalam Islam berhubungan erat dengan program rehabilitasi dan peningkatan kualitas diri, baik ke dalam sendiri, keluar dalam hubungan dengan orang lain, maupun hubungan dengan Allah. Ketiga orientasi itu bergerak secara simultan. Diri pribadi yang berkualitas terwujud dalam kualitas hubungan diri pribadi dengan orang lain dan Allah.
Sebagai bentuk ibadah, puasa merupakan kewajiban yang harus dijalankan oleh ummat Islam. Dari perspektif filsafat moral, puasa Islam mengandung dua perintah moral (imperatif) yakni puasa sebagai kewajiban yang mesti dijalankan begitu saja dan puasa sebagai kewajiban dengan tujuan tertentu. Mengacu pada model berpikir filsuf Jerman Immanuel Kant, puasa Islam mengandung dua corak imperatif, yakni imperatif kategoris sekaligus imperatif hipotetis.
Puasa sebagai Imperatif Kategoris
Puasa sebagai imperatif kategoris. Sebagai kewajiban yang mesti dijalankan begitu saja, puasa Islam bercorak multak dan mengikat tanpa syarat. Corak mutlak itu bisa kita rumuskan dengan kalimat yang berpijak pada model berpikir kategoris Kantian, “Wahai ummat Islam, engkau harus menjalankan puasa begitu saja, supaya orang lain melakukan hal yang sama!” Model berpikir kategoris inilah menjadi jiwa dari setiap tindakan ummat Islam selama berpuasa. Selama berpuasa, ummat Islam tidak tinggal diam saja dalam rumah. Sebaliknya, selama berpuasa ummat Islam bahkan tetap menjalankan aktivitas hidup seperti biasa. Konsekuensinya adalah setiap tindakan yang dilakukan ummat Islam selama bulan puasa dijiwai oleh perintah moral yang bercorak imperatif kategoris dari puasa.
Selama puasa, ummat Islam tetap akan bersentuhan dengan makan, minum, perjumpaan dengan orang lain, perjumpaan dengan lawan jenis, dan aktivitas hidup lainnya. Semua tingkah laku dan tindakan ummat Islam selama puasa hanya dibimbing oleh norma puasa yang mewajibkan begitu saja, tanpa ada pertimbangan lain. Hal itu menunjukkan bahwa kewajiban yang dilakukan oleh ummat Islam dapat diikuti juga oleh orang lain. Orang lain yang dimaksud di sini adalah sesama ummat Islam dan ummat dari agama-agama lain. Bagi seorang ummat Islam yang melakukan ibadah puasa sebagai sebuah perintah kategoris, tindakannya menjadi teladan atau panutan bagi ummat Islam yang lain yang mungkin tidak (mau) berpuasa atau yang berpuasa tetapi ia menjalankannya dengan tidak sepenuh hati. Ia menjadi panutan atau teladan bagi ummat Islam yang lain.
Kepanutan dan keteladanan itu – bukan bersumber motivasinya berpuasa supaya menjadi teladan atau panutan bagi ummat yang lain – melainkan merupakan buah dari menjalankan puasa sebagai perintah kategoris. Kepanutan dan keteladanan merupakan konsekuensi logis dari menjalankan puasa sebagai perintah kategoris. Orang yang menjadi teladan atau panutan, sesungguhnya memiliki moralitas yang matang. Ia menjalankan kewajiban-kewajiban moral – khususnya kewajiban-kewajiban yang bersumber dari ajaran-ajaran agama – secara sadar dan bertanggung jawab. Ia menjalankannya bukan karena takut dihukum secara sosial atau religius sebagai orang yang tidak patuh atau berdosa. Sebaliknya, ia menjalankan kewajiban-kewajiban moral sebagai perwujudan eksistensi makhluk etis. Ia sadar bahwa ia adalah manusia yang berkesadaran moral dan sanggup bertindak moral. Oleh karenanya, ia menjalankan kewajiban-kewajiban moral. Ia menjalankan kewajiban-kewajiban moral, salah satu kewajiban itu adalah berpuasa karena berpuasa itu baik dan menjadikannya sungguh-sungguh tampil sebagai makhluk etis. Sebagai makhluk etis, ia sadar bahwa berpuasa itu baik bagi dirinya, baik bagi orang lain, dan baik juga di hadapan Tuhan. Tindakannya berpuasa sekaligus menjadi imperatif (perintah) bagi ummat Islam yang lain agar menjalankan puasa sebagai perintah kategoris.
Imperatif kategoris dari puasa juga dapat menjadi imperatif bagi ummat dari agama-agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha. Para penganut agama-agama lain di luar Islam dapat menjalankan kewajiban berpuasa seperti ummat Islam. Sudah barang tentu, menjalankan kewajiban puasa di sini bukan dalam arti ikut puasa seperti ummat Islam, melainkan setiap tindakan dan perjumpaan dengan orang lain, dilakukan dalam semangat kewajiban sebagaimana yang dilakukan oleh ummat Islam. Misalnya, wajib mengontrol diri, wajib mengontrol sikap dan perilaku terhadap orang lain, wajib mawas diri, wajib peduli dan berbela rasa dengan orang lain, wajib membangun hubungan dengan Allah, dan sebagainya. Kewajiban-kewajiban itulah yang dijalankan oleh ummat Islam selama bulan puasa dan akan diteruskan setelah bulan puasa. Pada titik ini, puasa Islam mempunyai dampak etis yang luas kepada orang-orang dari agama lain. Tidak salah pula bila orang-orang dari agama lain memperoleh dampak etis ini.
Puasa sebagai Imperatif Hipotetis
Puasa sebagai imperatif hipotetis. Puasa Islam juga dapat dimaknai sebagai kewajiban sebagai syarat. Sebagai imperatif hipotetis, puasa Islam merupakan sarana untuk tujuan tertentu. Dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah 183, dirumuskan bahwa puasa adalah sarana untuk membangun relasi vertikal dan horisontal. Relasi vertikal kepada Allah dan relasi horisontal kepada sesama, khususnya kepada kaum fakir miskin dan duafa. Hal yang dituntut dalam relasi vertikal adalah sikap taqwa pada Allah. Bentuk taqwa diwujudkan melalui menjalankan perintah dan menjauhkan diri dari laranganNya. Perintah dan larangan itu selanjutnya diwujudkan ummat Islam dalam membangun relasi horisontal dengan sesama, khususnya kaum fakir miskin dan duafa.
Agar bisa menghayati dan mewujudkan relasi vertikal dan horisontal itu, ummat Islam menempuhnya dengan berpuasa. Etika formal Kantian menyatakan sarana sebagai kewajiban yang digunakan untuk sampai pada tujuan tertentu. Orang tidak bisa tidak melalaikan sarana untuk sampai pada akhir dari tindakan tertentu. Berpuasa berarti melepaskan kecenderungan dan sikap yang melulu berorientasi pada diri sendiri dan kepentingan diri. Dengan melepaskannya, umat Islam mengarahkan orientasinya pada Allah dan pada orang lain di luar diri sendiri. Allah dan orang lain menjadi imperatif hipotetis. Surat Al-Baqarah di atas menunjukkan bahwa puasa bercorak imperatif hipotetis. Puasa merupakan sarana yang diwajibkan bagi ummat Islam. Ummat Islam tidak bisa tidak, melalaikan puasa. Puasa merupakan imperatif hipotetis penghayatan dan perwujudan relasi vertikal dan horisontal tersebut. Dengan puasa ummat Islam mengarahkan orientasinya pada Allah dan sesama manusia yang fakir dan dhuafa.
Sapaan Penutup
Pertanyaan selanjutnya, apa manfaat dari dua corak imperatif moral itu dalam puasa Islam? Manfaat dua corak imperatif moral itu adalah demi kebaikan manusia pada dirinya. Puasa merupakan kewajiban dan sarana yang bertujuan meningkatkan kualitas diri manusia. Jika puasa mengakibatkan penurunan kualitas diri manusia, maka itu bukan puasa. Puasa itu memanusiawikan manusia. Akhirnya, SELAMAT BERPUASA BAGI UMMAT ISLAM. Bagi ummat Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan agama-agama lain, SELAMAT MENIMBA SPIRITUALITAS PUASA DARI UMMAT ISLAM. Sampai jumpa di HARI RAYA LEBARAN. Salam Indonesia dan salam kemanusiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H