Dalam tulisan kemarin yang berjudul "Daya Saing Global Indonesia", seorang sahabat melalui whatsapp bertanya demikian:
Poin terakhir "hubungan pendidikan dan ketenagakerjaan tidak mengalami perkembangan" ini cukup menarik. Apakah pendidikan harus disesuikan dengan kebutuhan pasar atau seperti apa..? Misalnya, oleh karena dudi (dunia usaha dunia industri) tidak memerlukan ahli agama, apakah fakultas agama perlu dibubarin..?
Saya menjawab demikian:
Kyai, tidak demikian maknanya. Tulisan tersebut dan serangkaian tulisan bertahap sebelum dan sesudahnya, kira-kira mengajak mengerti bahwa kompetisi global dan semangat zaman industri keempat sungguh mencengangkan. Kalau kita ingin kuat bersaing, maka kita perlu menyadari perubahan dan bersiasat.
Ke depan, siasat penting kita adalah untuk kebijakan pendidikan. Pertama, pendidikan vokasional formal kita melalui SMK relatif kurang berhasil, dan ternyata lebih banyak lulusan SMK yang menganggur dibanding lulusan SMU. Ilmu yang diajarkan di SMK kurang link-and-match dengan percepatan kebutuhan dunia usaha dan industri, sarana dan prasarana juga kurang memadahi. Padahal maksud berdirinya SMK adalah untuk menyambungkan dengan kebutuhan dunia kerja.
Kedua, pemerintah perlu berpikir serius tentang prodi dalam dunia pendidikan kita. Sebagian besar jurusan kita adalah yang tidak terkait dengan perkembangan dunia kerja, tetapi semua minta agar disediakan lapangan kerja. Kita punya master dan doktor banyak untuk jurusan sosial dan politik, termasuk agama. Tetapi, kita punya sangat sedikit insinyur dan berbagai ketrampilan yang terkait dengan pertumbuhan dunia digital yang cepat. Akibatnya kita lebih senang gaduh di media massa dari pada bekerja atau menggagas pekerjaan untuk umat.
Kita pasti butuh dengan ilmu sosial, politik, dan agama. tetapi, kita juga risih kan ketika semua orang menjadi "ahli/komentator" dalam ketiga bidang tersebut. Coba bandingkan dengan beberapa negara OECD, Perhatian mereka ke vokasional sangat tinggi. Salah satu buktinya adalah dari penganggaran nasional. Di beberapa negara maju seperti Jerman, Islandia, Luxemburg, Denmark, Amerika, dan Prancis, setidaknya dalam rentang 2-3 persen PDB diperuntukkan bagi vokasional.Â
Bandingkan dengan APBN kita, kurang dari setengah persen PDB untuk vokasional. Dari sekitar 12 ribu triliun PDB indonesia, pemerintah hanya menganggarkan kurang dari 3 triliun untuk menunjang vokasional, melalui Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian Pendidikan Tinggi.
Dalam dunia pendidikan kita, salah satu yang juga dapat dinyatakan sebagai kegagalan yang cukup lama adalah dalam hal bahasa. Setidaknya kita belajar Bahasa Inggris sejak SMP sampai lulus perguruan tinggi. Tetapi, kita tahu bahwa sangat sedikit orang yang pinter Bahasa Inggris dari sekolah.Â
Kalau kita mau sekolah ke luar negeri, bahkan ketika akan ujian nasional dan semesteran, banyak yang merasa harus kursus 3-6 bulan untuk mendapat nilai toefl atau ielts yang cukup memenuhi persyaratan. Kalau kita sering mengikuti forum-forum regional dan internasional, mesti kita banyak temukan para staf dan pengambil kebijakan dari negara-negara seperti India, Malaysia, Filipina, Pakistan, termasuk Bangladesh, dan sangat sedikit berasal dari Indonesia.
Tetapi, anehnya pemerintah tidak banyak melakukan perubahan terhadap 1 mata pelajaran tersebut. Belum ada kebijakan di luar sekolah yang membuat orang merasa bahwa menguasai Bahasa Inggris itu penting, bagian dari cara bercatur di dunia internasional, bagian dari cara membuat peradaban dunia, dan lain-lain.