Hilangnya Jati Diri Ilmu Sosial
Dalam banyak seminar dan diskusi, kadang terdengar keluhan bahwa ilmu pengetahuan sosial telah tersub-ordinatkan oleh pengetahuan alam. Hal ini memang disayangkan dan, bahkan, menurut saya, tidak terjadi secara kebetulan. Keluhan tersebut sering timbul sebagai reaksi terhadap berbagai kebijakan-kebijakan politik pendidikan ataupun kebijakan lain yang terkait dengan kepentingan kebutuhan-kebutuhan praktis (misalnya dalam “mencetak” tenaga-tenaga teknis terdidik).
Apakah benar landasan pemikiran di balik kebijakan-kebijakan semacam itu?
Sejauh mana pengaruh ilmu pengetahuan alam telah menyilaukan para pakar ilmu sosial?
Dan siapakah yang bertanggungjawab atas keyakinan filosofis dari penyimpangan yang terjadi sekarang ini?
Adalah Auguste Comte pihak yang bertanggungjawab di sini.
Comte memberi kita visi tentang idealitas keilmuwan; tentang ilusi keagungan penerapan prosedur eksperimen dalam penyelidikan sosial; tentang pentingnya “memajukan” masyarakat untuk lepas dari belenggu pemikiran teologis serta metafisis menuju masyarakat positif yang “ilmiah”. Ironisnya, pandangan ini sekarang telah menjadi satu-satunya norma ilmiah–sebuah norma yang tanpa pernah dipertanyakan, telah menjadi tradisi untuk mengklaim diri paling ilmiah dan yang lain sebagai tidak ilmiah. Atas visi yang keblalasan tersebut, cabang ilmu yang pada awalnya murni logika, misalnya ekonomi dan ilmu sosial, telah ikut-ikutan mengadopsi visi filosofis Auguste Comte. Setiap pernyataan atau proposisi, menurut klaim positivis, tidak akan pernah dapat dibuktikan kebenarannya apabila tidak melalui prosedur eksperimen yang empiris.
A Comte membagi perkembangan masyarakat ilmiah menjadi tiga: tahap teologis, tahap metafisik dan tahap ‘ilmiah’ atau positif.
Bagi Comte, masyarakat positif dikatakan dapat berhasil secara ilmiah ketika para ilmuwan telah meninggalkan sesuatu yang a priori. Metode yang paling tepat, menurut Comte, ialah pencarian hukum-hukum ilmu sosial melalui eksperimen. Baginya hanya metode eksperimenlah yang dapat mendekatkan kita pada objek observasional.
Kedua, menurut Comte, dalam menuju masyarakat positif adalah dengan menggantikan pendidikan teologi, metafisika dan sastra dengan pendidikan filsafat positif. Comte mengartikan pendidikan positif sebagai ajaran yang mendidik masyarakat agar persepsinya dapat sesuai dengan objek faktual—dengan kata lain gagasan-gagasan abstrak serta fiksi seharusnya ditiadakan. Dengan demikian ajaran-ajaran teologis, metafisik dan sastra merupakan ajaran yang tidak sesuai dengan objek faktual. Jadi keberadaan mereka perlu digantikan dengan ilmu-ilmu alamiah, atau dengan kata lain hal-hal yang bukan fakta non-metafisis tidak bermakna apa-apa. Sekali lagi, di sini Comte mengalami kesuksesan. Dan sekarang sistem pendidikan kita melaksanakan dengan konsisten usulan ajaib dari Auguste Comte!
Ketiga, bagi Comte, masyarakat ilmiah dalam menelaah ilmu sedapat mungkin harus mampu mengombinasikan beberapa sudut pandang cabang ilmu. Baginya, kombinasi dalam berperspektif sangatlah penting. Ia mencontohkan bahwa kimia seharusnya dipadukan dengan fisiologi—seperti kebodohan kita dalam mengubah manusia menjadi sekedar ilmu statistik atau melihat trend-trend saat ini munculnya kajian ekonomi perilaku, ekonomi fisika dsb. Kesalahan Comte di sini sangat fatal. Ia tidak menyadari bahwa setiap cabang ilmu itu terkait cara berfikir. Setiap disiplin ilmu memiliki logika formalnya sendiri-sendiri. Ada perbedaan antara yang ada dalam pikiran dengan kenyataan luar.
Kesalahan Comte yang paling mendasar adalah memperlakukan setiap fenomena seperti hukum ilmu alam—yaitu memiliki sifat yang tak berubah serta beroperasi melalui sebab-sebab konstan. Dia menganalogikan setiap fenomena harus mengikuti jalan yang sama bagi penemuan teori ilmu alam, khususnya ilmu fisika. Ini kebodohan tingkat tinggi.
Comte mengatakan:
The first characteristic of the Positive Philosophy is that it regards all phenomena as subjected to invariable natural Laws. Our business is,—seeing how vain is any research into what are called cause, whether first or final,—to pursue an accurate discovery of these Laws, with a view to reducing them to the smallest possible number. By speculating upon cause, we could solve no difficulty about origin and purpose. Our real business is to analyze accurately the circumstance of phenomena, and to connect them by natural relations of succession and resemblance. The best illustration of this is in the case of the doctrine of Gravitation.
Tujuan utama ilmuwan yang berpandangan positivis ialah mencari keteraturan dari sebuah fenomena. Senjata pamungkasnya: statistik.
Alasannya, hanya statistiklah yang dapat menguji fenomena sosial layaknya pengujian ilmu alam. Bagi kaum positivis, sebuah teori yang tidak dapat diverifikasi atau difalsifikasi oleh pengalaman empiris—yang biasanya melalui data statistik—tidak akan dapat dianggap sahih. Bahkan sebuah pernyataan tanpa dukungan analisa statistik tidak bisa disebut “ilmiah”.
Dapat dipahami tentang penekanan penggunaan statistik dalam ilmu sosial disebabkan oleh kesilauan ahli ilmu sosial terhadap prosedur induktif yang digunakan dalam ilmu alam. Dengan prosedur induktif, para ahli ilmu sosial berharap akan menemukan hukum-hukum sosial seperti layaknya hukum fisika; sehingga penggunaan prosedur yang kaku, dengan berbagai varian metodologi kuantitatifnya, telah berhasil membuat sebagian besar akademisi kita sudah merasa “paling ilmiah”.
Doktrin tersebut, tidak dapat dipungkiri, menyiratkan pandangan yang kacau. Statistik tidak menggambarkan keteraturan. Dia hanya sebuah kumpulan kejadian-kejadian yang beragam, yang kemudian direduksikan menjadi angka-angka. Dengan demikian, kejadian-kejadian tersebut bukanlah sebuah variabel yang dapat dipastikan akan mempengaruhi kejadian di masa depan.
Sekarang ini ilmu sosial seolah-olah telah menjadi cabang dari ilmu matematika ataupun statistik. Kita hampir tidak pernah diberikan telaah tentang problem epistemologi. Dalam hal prosedur penelitian, hampir semua kurikulum perguruan tinggi telah mengajarkan filsafat ilmu—bukannya epistemologi ilmu. Sebagai akibatnya, telah menjadi keyakinan umum bahwa tanpa prosedur metodologis, sebuah temuan yang ‘hanya’ berdasar reflektif tidak akan pernah dianggap sahih.
.....................
Untuk melawan positivisme salah satu jawaban alternatifnya ialah kembali kepada kajian logika, logika tindakan (praksiologi).
Teori ilmu sosial tidak akan dapat dihasilkan melalui prosedur eksperimen. Alasannya: manusia bukanlah batu, atom, molekul, atau planet. Sebaliknya, Manusia adalah makhluk yang bertindak. Artinya, manusia akan selalu bertindak berdasarkan penilaian subyektifnya. Tindakan tersebut akan selalu berbentuk cara-cara yang terbatas serta berbeda-beda bagi setiap individu. Atas dasar itulah basis tindakan manusia dapat dipahami. Oleh karena itu pemahaman terhadap basis ‘nilai’ manusia menjadi sangat penting.
Pencarian kebenaran dalam logika tindakan tidak dilakukan dengan cara mengukur; dia hanya dapat ditelaah melalui identifikasi reflektif. Identifikasi tersebut mengisyaratkan bahwa setiap tindakan manusia sepenuhnya subyektif. Jadi memprediksikan sebuah tindakan adalah sesuatu yang muskil, karena ketika kemarin saya bangun jam 6 pagi, hal tersebut tidak akan menjamin bahwa saya besok akan bangun pada jam yang sama seperti kemarin; secanggih apapun metode statistik yang Anda gunakan, Anda tidak akan mampu memprediksikan jam berapa besok saya akan bangun. Karena sebab-sebab konstan dalam sebuah tindakan tidak akan pernah ada sama sekali.
Kemudian (kaum positivis) mungkin akan bertanya-tanya, untuk apakah science jika tidak memiliki fungsi prediktif?
Yang jelas tanpa memiliki fungsi prediktif suatu ilmu tetap akan dapat memberi petunjuk bagi manusia untuk memahami dunianya. Dengan tujuan yang lebih sederhana, tugas ilmu pengetahuan adalah menguak realitas-realitas yang masih terhalang.
Sains tentang manusia tidak dapat membangun ide-ide apapun; dia hanya dapat menguak realitas, setidaknya agar kita tidak selalu dibohongi oleh ahli propanda serta menjaga peradaban dalam menciptakan individu-individu yang bebas, bermoral, kritis, kreatif serta inovatif.
Hanya melalui strategi perubahan cara pandang—atau setidaknya kembali mengkaji—epistemologi-lah krisis kemanusiaan dapat diperbaiki. Tanpa ada usaha perubahan tersebut maka kita akan selalu dihadapkan pada problem-problem sosial yang disebabkan oleh kesalahan kita dalam memahami fenomena realitas manusia.
Tanpa disadari kita mungkin telah menciptakan bencana kemanusiaan yang berasal dari kesalahan pemahaman atas ilmu-ilmu tentang manusia itu sendiri!
Mari kita renungkan....
TTD
WBW (Wahyu Babadsari Winoto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H