Mohon tunggu...
Wahyu Wibisana
Wahyu Wibisana Mohon Tunggu... Konsultan pr dan penulis freelance -

Penulis lepas dan konsultan PR

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Enam Alasan untuk Menolak Penyeragaman Golongan Listrik

22 November 2017   00:48 Diperbarui: 22 November 2017   01:21 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perawatan SUTET PLN - Dok Kompas

Dalam beberapa minggu terakhir ini, Perusahaan Listrik Negara (PLN) terus berupaya menyosialisasikan wacana penyederhanaan golongan pelanggan listrik non subsidi dari daya 1.300-4.400 VA menjadi menjadi 5.500 VA dengan tanpa biaya migrasi. Rencananya program ini akan mulai digulirkan tahun depan di Pulau Jawa dan tinggal menunggu "ketok palu" dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir, menjelaskan alasan di balik rencana penyederhanaan golongan listrik ini adalah adanya cadangan listrik yang semakin banyak milik perusahan plat merah tersebut. Dikatakan, selama tiga tahun ini sudah ada daya listrik 7 ribu MW yang masuk dalam system yang bersumber dari pembangkit-pembangkit listrik yang ada, khususnya di Jawa cadangannya bisa mencapai 30-40 persen.

Alasan lainnya menurut Sofyan, karena selama ini hasrat masyarakat untuk menambah daya terhambat oleh adanya biaya tambahan yang mahal jika hendak mengubah ke golongan yang lebih tinggi. Maka PLN berinisiatif menyederhanakan golongan dan masyarakat bisa lebih mudah menambah daya listrik tanpa harus membayar mahal lagi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan juga memastikan tidak ada kenaikan tarif untuk penambahan daya listrik. Masyarakat yang daya listriknya menjadi 5.500 VA nantinya akan menggunakan tarif per kilowatt hour (kWh) yang sama dengan perhitungan tarif untuk golongan 1.300 VA.

Namun apakah benar, penyeragaman ini sama sekali tidak berdampak pada masyarakat?

Sebagai orang awan, jujur saya harus menyatakan bahwa sangat riskan melakukan penyeragaman golongan listrik ini kepada semua konsumen meskipun PLN dan Kementerian ESDM menjamin tidak adanya kenaikan tariff per kwh.

Alasan pertama, jelas daya beli masyarakat berbeda-beda sehingga ketika ada penyeragaman, ada sebagian masyarakat akan semakin terpuruk secara ekonomi. Apalagi kalau benar seperti yang didengungkan YLKI bahwa penyatuan golongan ini menggunakan formula baru yakni pemakaian minimal. Sebab menurut Ketua Harian YLKI Tulus Abadi, formulasi pemakaian minimal berpotensi melambungkan tagihan konsumen.

Loh kok bisa?  Tulus memberi contoh, pemakaian minimal untuk 1.300 VA adalah 88 kWh (Rp 129.000), sedangkan pada golongan 5.500 VA pemakaian minimal 220 kWh atau setara dengan Rp 320.800. Artinya meski tarif dasar tak berubah, akan muncul biaya minimal yang memberatkan pelanggan. Belum lagi biaya pergantian kabel dan Sertifikasi Laik Operasi (SLO) baru yang juga harus ditanggung masyarakat.

Saya yakin PLN belum melakukan survey atau studi kelayakan terhadap para konsumennya dan lebih mendasarkan pengukuran kebijakan ini kepada kemungkinan mendapatkan laba semata.

Alasan kedua, penyeragaman ini pasti akan mempengaruhi pola konsumsi listrik di tanah air.

Kita tidak bisa pungkiri  bahwa kesadaran masyarakat dalam "mengkonsumsi" masih belum baik sehingga jika daya yang diberikan berlebih maka pemakaian mereka pun akan berlebih. pengamat energi dan peneliti Center for Energy and Food Security Studies (CEFSS) Ali Ahmudi memprediksi bahwa penyerderhanaan golongan ini akan memacu tingkat konsumsi listrik masyarakat. "Kalau saat pakai 900 VA pakainya irit, diatur antara nyala AC dan mesin air. Begitu naik ke 4.400 VA pakainya lebih bebas, bisa nyala semua dan jadi lebih boros," imbuhnya.

Apa yang dikatakan Ali tersebut sebenarnya sudah didukung sendiri oleh situs resmi Kementerian ESDM yang memperkirakan konsumsi listrik per kapita di tahun 2016 lalu mencapai 956 kWh, sedangkan konsumsi listrik nasional 2017 berdasarkan rencana strategis Kementerian ESDM sebesar 1.058 kWh/kapita. Itu artinya ada kecenderungan konsumsi listrik masyarakat Indonesia akan terus naik. Kalau sekarang listrik masih dibatasi saja cenderung tinggi, apalagi jika nanti tidak dibatasi.

Alasan ketiga adalah penyeragaman golongan listrik ini akan membuat rasa keadilan sosial bagi calon pelanggan PLN di luar Jawa terganggu. Pasalnya, hingga saat ini PLN belum mampu menghadirkan pemerataan listrik ke beberbagai pulai di Indonesia. Kementerian ESDM mencatat bahwa hingga tahun 2016, akses listrik masyarakat di Indonesia belumlah merata. Angka rasio elektrifikasi masing-masing provinsi berbeda-beda. 

Di Provinsi Papua, rasio elektrifikasi masih mencapai 46,47 %, itu artinya lebih dari separuh rumah tangga di sana belum menikmati listrik. Sementara itu Pulau Jawa rata-rata telah berada di atas 90%. Maka alangkah lebih bijak jika PLN lebih mendorong ketersediaan listrik merata secara nasional dulu baru melakukan penyeragaman golongan, daripada memaksa masyarakat Pulau Jawa menambah daya listriknya sehingga ketimpangan konsumsi listrik antar pulau akan semakin lebar.

Alasan keempat adalah masalah klasik yang hingga kini tak pernah bisa diselesaikan PLN dengan memuaskan yakni masalah konsistensi layanan mereka. Apakah dengan penyeragaman daya yang akan berdampak pada peningkatan konsumsi listrik tidak akan berpengaruh pada layanan PLN. 

Bukan menjadi "rahasia umum" kalau di Jabodetabek saja pelayanan PLN masih amburadul alias sering "byar-pet", apalagi kalau masyarakat diperbolehkan menambah daya hingga 5500 AV. Alangkah lebih bijak jika PLN mengurangi dulu keluhan masyarakat terhadap layanannya daripada "memaksa" konsumen menambah daya kemudian mengecewakannya.

Alasan kelima jelas bahwa dorongan perusahaan listrik plat merah ini untuk penyeragaman golongan akan berdampak pada  terhambatnya program Kementerian ESDM soal penghematan energi listrik. Beberapa waktu lalu Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengatakan bahwa pada tahun 2017 ini, pemerintah menargetkan penghematan energi listrik sebesar 2 gigawatt (GW) atau setara Rp18,4 triliun dari seluruh Indonesia. 

Dalam kesempatan itu Rida sendiri menggunakan slogan "lebih mudah untuk menghemat 1 watt dibandingkan membangun 1 watt atau dalam skala lebih besar, "menciptakan 1 MW juga jauh lebih sulit dibandingkan dengan harus menghemat 1 MW". Karena itulah  pemerintah terus mendorong agar masyarakat dapat berperilaku hemat energi lewat dan member insentif beruapa potongan 10 persen kepada konsumen yang berhasil berhemat.

Menurut Rida gerakan hemat energi "Potong 10 Persen" merupakan upaya pemerintah mewujudkan energi berkeadilan serta sejalan dengan paradigma pengelolaan energi global. Apalagi program penghematan ini sudah dicanangkan sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih menjabat yakni Juni 2012 lalu. Lalu jika kemudian kebijakan PLN ini disetujui dan terjadi lonjakan konsumsi listrik yang signifikan, siapa yang harus disalahkan? Jadi sekarang apakah kita akan mengorbankan program penghematan energy ini dengan sebuah kebijakan yang belum teruji?

Dan alasan keenam adalah apakah kita mau mengorbankan gerakan penghematan energy nasional yang akan menekan global warming hanya untuk memenuhi ambisi PLN menjual 40 % cadangan listrik yang mereka miliki? Sebab kita tahu bahwa sumber listrik PLN sebagian besar saat ini berasal dari minyak bumi yang dapat memicu kenaikan suhu dunia. Itu sebabnya di beberapa Negara lebih memilih menggunakan panel-panel surya untuk menghasilkan listrik dibandingkan menggunakan BBM sebagai sumber energy. 

Namun Indonesia yang sebagian besar energy listriknya dari BBM malah mendorong masyarakatnya bersikap konsumtif terhadap listrik. Semoga pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM lebih bijak dalam mendukung langkah PLN menyederhanakan golongan pelanggannya.()

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun