Seorang penulis atau wartawan yang baik memerlukan sumber-sumber referensi yang cukup dalam membuat sebuah tulisan bermutu. Sebab tanpa ketersediaan referensi membuat tulisan kita menjadi hambar.
Sebagai seorang wartawan dan penulis, saya diajarkan para senior saya untuk menjunjung sebuah pakem penulisan yang berbunyi, "jika data kita banyak, tulisannya sedikit maka tulisan kita banyak bolongnya. Tapi kalau tulisan kita banyak, datanya sedikit maka tulisan kita banyak bohongnya". Berdasarkan prinsip itu, data dan sumber referensi sangatlah diperlukan oleh para penulis.
Karena itu sejak memulai karir saya di tahun 1997 dengan menjadi wartawan magang di sebuah majalah trend pria di Jakarta, saya sangatlah memperhatikan soal kelengkapan referensi saya ketika menulis. Ini ditularkan betul oleh para senior saya dan juga ayah saya yang juga seorang penulis. Kalau saya perhatikan kala itu, untuk membuat sebuah artikel saja para senior dan ayah saya ini harus menggunakan banyak referensi dalam tulisannya.
Kebiasaan ini juga yang menular dalam diri saya kala membuat sebuah tulisan. Paling tidak ketika membuat sebuah tulisan saya harus ditemani "tiga buku wajib" yakni kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan Ensiklopedia. Kadang "tiga buku wajib" ini pun masih harus ditambah dengan beberapa lembar fotocopian artikel atau tambahan buku-buku yang berkaitan dengan bahan yang saya tulis.
Dengan bekal itulah, biasanya saya baru menjalankan ritual menulis. Tanpa referensi itu, saya khawatir tulisan saya "banyak bohongnya". Maka ketika ada kawan meminjam buku wajib dan tidak mengembalikan, bisa terjadi "perang dingin" di antara kami.
Bertahun-tahun saya memegang teguh aturan kalau menulis perlu "tiga buku wajib" ditambah buku-buku referensi lainnya itu. Celakanya kalau kebetulan saya harus ditugaskan ke luar kota, maka tak mungkin juga saya "memenuhi" tas saya dengan tiga buku wajib ini. Karena saya pasti lebih mementingkan membawa baju, telepon genggam sebagai alat komunikasi dan semua keperluan saya selama di perjalanan.
Itu sebabnya dulu saya jarang sekali mengirimkan artikel ketika berada dalam tugas luar kota. Semua ide cerita pastilah baru bisa saya tuangkan dalam computer atau laptop, setelah saya kembali dari "perantauan". Kalaupun sangat-sangat kepepet, saya hanya mengirimkan laporan padangan mata tersebut lewat jaringan fax hotel atau warung telekomunikasi (wartel) yang berdekatan dengan tempat menginap. Sementara finishing tulisan dilakukan rekan yang ada di kantor. Karena memang zaman itu belum ada internet.
Namun di era tahun 2000an ketika internet mulai merambah Indonesia dengan begitu pesat, kebiasaan-kebiasaan lama saya dalam menulis pun mulai berubah. Gaya penulis yang selalu menenteng-nenteng "buku wajib" dan segudang buku referensi pun mulai saya ditinggalkan perlahan-lahan dan beralih mencari referensi di dunia internet.
Sehingga saya tak lagi terlalu pusing ketika tiga "buku wajib" saya tidak ada lagi di tempat. Sebab kehadiran sarana laptop dan modem telah mengubah kebiasaan saya dalam menulis, meski saya tetap memerlukan artikel-artikel referensi dan kamus serta ensiklopedia. Namun bentuk artikel itu tak lagi dalam wujud kertas fotocopian, majalah, koran atau buku. Lifestyle saya selaku penulis yang kerap membolak-balik halaman Ensiklopedia untuk mencari tahu latar belakang tokoh yang akan diwawancarai, atau menjungkirbalikan kamus demi mengerti suatu istilah tak lagi berlaku.
Semuanya bisa dijawab lewat kehadiran mbah Google atau Yahoo di jejaring internet. Mau referensi apa saja kita bisa dapatkan dengan hanya "memainkan" jari-jari tangan kita. Kini jika harus pergi pun saya hanya cukup membawa laptop yang dilengkapi modem ataupun telepon pintar (Smart Phone) untuk mencari informasi den mengirimkan tulisan-tulisan. Dengan perkembangan era digital ini, Â kehidupan menulis saya pun jadi terkesan lebih 'Live Smart' dan tidak ketinggalan zaman.
Keseruan saya sebagai penulis zaman Now, akan semakin bertambah untuk menjelajah halaman-halaman baru dari jejaring internet setelah provider Smartfren melakukan penyegaran produk mereka. Salah satu produk yang akan sangat mendukung para penulis untuk mencari referensi di internet adalah modem MiFi M5 akhir September lalu.
Menurut VP Brand and Communications Smartfren Derrick Surya, modem baru ini didukung oleh teknologi 4G LTE serta chipset Qualcomm MDM 9307 yang tentunya akan sangat membantu para penggunanya. MiFi M5 ini juga memiliki baterai berkapasitas 3.250 mAh yang membuat modem ini tahan lama. "Dengan jaringan 4G, streaming jadi lebih lancar serta daya tahan baterainya pun lebih lama. Kebutuhan inilah yang kami akomodir dengan MiFi M5," ujar Derrick di kala acara peluncuran.
Derrick juga menambahkan salah satu keistimewaan modem ini adalah modem ini dapat dipergunakan sebagai powerbank untuk mengisi baterai gadget milik kita di kala kepepet. Dan kalau pembaca mau lebih jelas mengenai berbagai informasi mengenai modem baru ini, pembaca bisa mengunjungi https://www.smartfren.com/id/wifi-m5/ sebagai referensi sebelum membeli.
Yang jelas dengan harga yang masih sangat terjangkau oleh "kocek para penulis" macam kami ini, kehadiran MiFi M5 ini jelas mempermudah proses kami dalam menulis, Bahkan kini kami mampu menggenggam dunia hanya lewat sebuah sentuhan gadget. Keren bukan? Dengan modem MiFi M5, membuat menulis lebih ringan. ()
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H