Kalau dihitung-hitung, usia kepemimpinan Anies Basweidan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Wakil Gubernur DKI Jakarta masihlah sangat muda karena belumlah genap sebulan. Seperti layaknya seorang bayi yang baru lahir, duet pemimpin Jakarta ini masih perlu meraba-raba apa saja yang harus diperbaiki ke depan dan apa saja yang bisa dipertahankan dari era kepemimpinan sebelumnya.
Sehingga rasanya sangat tidak tepat kalau kita menyalahkan mereka dalam urusan banjir Jakarta beberapa hari belakangan dan urusan macet yang sudah terjadi sejak beberapa waktu lalu. Tentu dalam masa-masa transisi kepemimpinan dari erah Ahok ke Djarot dan Djarot kepada Anies, pasti kita harus membuat sejumlah permakluman demi permakluman. Wong, seratus hari saja belum, kok Pak Anies sudah dituntut macam-macam.
Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru ini bukanlah sosok David Copperfield yang dulu mengaku bisa menghilangkan Monas dalam sehari, atau mereka juga bukan Bandung Bondowoso yang mampu mendirikan 1000 arca dalam waktu satu malam. Sebagai orang baru, mereka berdua haruslah diberi kesempatan untuk menjalankan konsep-konsep baru mereka dalam 5 tahun ke depan.
Masyarakat Jakarta harus percaya bahwa duo pemimpin ini pasti ingin membangun Jakarta ke arah yang lebih baik. Kritik terhadap mereka boleh saja, namun tidak juga dilakukan dengan cara "destruktif (merusak)" atau bahkan "assassin character (membunuh karakter)" kedua pemimpin ini. Pokoknya masyarakat harus bersabar menanti mereka bekerja. Toh mereka pun masih harus belajar untuk membenahi Jakarta.
Jadi menurut saya, Pak Anies juga tak perlu buru-buru kita hukum dengan statmen-statmen kita seakan mereka adalah orang-orang yang tidak bisa kerja seperti yang banyak terlansir di media sosial ataupun media massa mainstream. Memberi kesempatan kepada mereka belajar mungkin jauh lebih berharga dibandingkan kita mencacimakinya lewat sosial media.
Hanya sayangnya, ketika publik diminta untuk tidak terburu-buru "menghukum" mereka, Sang Gubernur justru melakukan langkah yang terkesan terburu-buru. Salah satu kebijakan yang mengesankan terburu-buru adalah munculnya wacana pergantian Peraturan Gubernur No 141/2015 tentang pembatasan lalu lintas sepeda motor. Dalam pemikiran sang gubernur, pada rancangan trotoar Jalan Sudirman-Jalan MH Thamrin masih ada peluang sepeda motor bisa melintasi jalan itu lagi. Alasan lainnya agar tidak terjadi diskriminasi terhadap pengguna jalan (sepeda motor).Â
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah menyatakan wacana penghapusan larangan sepeda motor yang melintas di Jalan Protokol harus melalui kajian terlebih dahulu. "Kami kaji dulu, kan, FGD (forum group discussion) dulu. Kami lihat (pendapat) para pengamat," ujar Andri.
Dia mengatakan ketika Pemprov DKI Jakarta ingin memperluas area larangan sepeda motor, ada kajiannya dulu. Maka  jika ada kajian baru, maka kajian baru tadi akan dipadankan dengan kajian lama. Baru diputuskan dihapus atau tidak.
Apa yang disampaikan Kadishub DKI ini selaras dengan apa yang dia paparkan di hadapan DPRD DKI beberapa waktu lalu. Saat itu Andri menyatakan rencana Pemprov DKI memperluas larangan sepeda motor hingga Jalan Sudirman didasarkan atas pertimbangan pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang mencapai 1.500 perhari (1.200 roda dua dan 300 roda empat). Jika pengaturan tidak segera dilaksanakan, kondisi lalu lintas Jakarta akan semakin macet, paling tidak 2 atau 3 tahun ke depan.
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Halim Pagarra juga menilai bahwa pelaksanaan larangan motor melintas di Jalan MH Thamrin selama ini telah memberi efek positif. "Pembatasan motor di Jakarta cukup bagus untuk mengurangi polusi udara dan dapat mendorong Pemprov menyiapkan transportasi massal, sehingga bisa mengurangi kemacetan di Jakarta," ujar Halim. Namun jika larangan tersebut dicabut, apapun aturan yang dibuat oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, polisi siap mendukung dan menjalankan kebijakan tersebut.
Pakar transportasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Danang Parikesit menyatakan, Pemprov DKI harus mengkaji lebih lanjut dampak pencabutan larangan sepeda motor di kawasan Sudirman-Thamrin. Anies tak bisa gegabah mengubah kebijakan dengan mengubah pergub yang dikeluarkan gubernur sebelumnya.
"Sebenarnya mudah cabut pergub. Tapi harusnya dievaluasi dulu, kan tidak semua kebijakan gubernur lama harus diganti. Kalau mau mengganti, alasannya harus kuat," ujar Danang. Sebab dia khawatir perubahan itu justru jadi preseden buruk bagi kebijakan lain yang akan dijalankan Anies bersama Sandiaga Uno. Maka perlu dipersiapkan kebijakan pelengkap untuk mengantisipasi pencabutan larangan tersebut.
Sebagai masyarakat kita harus tetap berpikir positif bahwa kebijakan yang disampaikan sang gubernur adalah untuk Jakarta yang lebih maju dan bukan sekadar pengapusan segala sesuatu yang "berbau Ahok" atau "deahoknisasi".
Mengingat saat ini sang gubernur juga berencana untuk menghapus 4 peraturan gubernur era Ahok yakni Pergub Nomor 25 Tahun 2017 tentang Pengendalian Lalu Lintas dengan Pembatasan Kendaraan Bermotor Melalui Sistem Jalan Berbayar atau Electronic Road Pricing,Pergub Nomor 36 Tahun 2014 tentang penataan Kampung Akuarium, Pergub Soal Kegiatan Agama di Monas,Pergub Nomor 148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Reklame, Sebab jika kebijakan baru itu dilakukan hanya untuk melakukan "deahoknisasi", kita akan kembali teringat pada fenomena "Dealisadikinisasi" seperti yang terjadi ketika Gubernur Tjokropranolo menggantikan Ali Sadikin di masa lalu. Dan tentunya hal seperti ini akan kurang menguntungkan bagi warga Jakarta. ()
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H