Dari dulu ketika pergi ngajar ke jalanan, aku selalu membawa gunting kuku dan lilin.
Gunting kuku untuk untuk potong kuku item anak-anak, ya begitulah, cuma beberapa pengajar yang berani motong kuku item itu. Apalagi di saat pandemi seperti ini.
Dan lilin untuk merayakan ultah mereka. Mereka bisa minta dirayakan ultah-nya 3-4 bulan sekali. Meski sekedar donat satu atau gorengan, yang penting ada lilin untuk ditiup.
Ah, biar aja, kebahagian kecil yang jarang mereka temui.
*
Seperti biasa, aku ke sana. Kali ini dengan perbekalan agak lengkap, lilin + nasi kuning. Hasil "merampok" seorang kawan.
Tujuanku, ke rumah petak kecil, di belakang stasiun, rumah Dini.
Iyha namanya Dini.
Dia terlalu dini putus sekolah, dan dia terlalu dini jadi tulang punggung keluarga.
Ada enam nasi kuning aku gelar di lantai tanpa alas, pas untuk satu keluarga.
Lilin aku nyalain.
Dini mengucap doa :
" Aku mau beliin rumah buat Mamah "
Mamah nya terkejut, tak mengira anaknya yang masih kecil punya pikiran seperti itu.
" Aku mau naikin haji Mamah "
Mamah nya tertunduk sembab,
" Aku mau .. nyenengin ... Mamah.. ".
Mamah nya mulai terisak,
tidak terasa air matanya jatuh.
*
Mata ku ikut sembab.
Aku pegang erat tangan relawan, untuk menenangkan diri. Tentu aku pilih yang paling cantik.
*
Keluarga sederhana punya karunia yang tak terkira, malaikat kecil yang berbakti.
Kehendak langit memang penuh misteri.
*) Menceritakan kembali kisah Gamyasta, pemerhati anak jalanan yang enggan dikenal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H