Mohon tunggu...
Wahyu Fadhli
Wahyu Fadhli Mohon Tunggu... Penulis - Buku, pesta, dan cinta

tulisan lainnya di IG : @w_inisial

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Selimut Pasal RKUHP Lesse Majeste

8 Februari 2018   14:06 Diperbarui: 23 September 2019   04:02 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah lesse majeste diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia pada saat penjajahan kolonial Belanda. Istilah tersebut bisa diartikan sebagai sebuah aturan atau undang-undang yang bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat kerajaan Belanda (saat itu). Sehingga para pejuang-pejuang kemerdekaan yang berusaha menentang pemerintahan Belanda saat itu, tidak bisa berbuat lebih. Ketika sedikit saja mereka mengeluarkan kritik yang sedikit menyinggung pemerintah, mereka akan langsung terjerat pasal lesse majeste. 

Saat ini memang keadaan sudah berganti. Pemerintahan kolonial Belanda sudah tidak ada lagi di Indonesia. Namun, apakah kekuasaan kolonial Belanda pada masa itu tidak menyisakan bekas sama sekali? Yang pasti, kekuasaan mereka sangat banyak memengaruhi pemerintahan Indonesia saat ini. Salah satu sisa-sisa pengaruh kolonialisme Belanda terletak pada undang-undang yang dimiliki oleh Indonesia. Yaitu pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana beserta Hukum Acaranya (KUHP/KUHAP), Kitab Undang-undang Hukum Perdata beserta Hukum Acaranya (KUHPer/KUHAPer), dan peraturang-peraturan yang lainnya. 

Sebagian besar aturan yang ada didalamnya bisa dikatakan masih relevan dengan pemerintahan Indonesia saat ini. Namun, ada beberapa aturan yang dirasa sudah tidak layak lagi digunakan. Seperti pada pasal 134 KUHP yang berbunyi "Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun, atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".

Memang benar redaksi yang digunakan dalam pasal itu adalah "Presiden dan Wakil Presiden" bukan "Kerajaan". Tapi sekali lagi perlu diingat bahwasanya KUHP tersebut adalah asli buatan kolonial Belanda, hanya saja dalam KUHP ini sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan beberapa kata dirubah untuk disesuaikan dengan pemerintahan Indonesia. 

Sebenarnya yang menjadi permasalahan bukan terletak pada ketata bahasaannya, melainkan apakah pasal tersebut bisa diterapkan dalam negara yang menganut madzhab demokrasi? Yang jelas-jelas membebaskan setiap orang berpendapat. Baru-baru ini KUHP direncanakan akan dirombak, dan sampai saat ini masih bernama Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menimbulkan banyak polemik. Pasalnya masih saja terdapat beberapa pasal yang semestinya hilang malah tetap bertahan, dan sebaliknya. 

Salah satunya yaitu mengenai pasal lesse majeste tadi, tetap berada pada RKUHP namun hanya pada pasalnya saja yang berbeda. Pada RKUHP terdapat pada pasal 263 ayat (1) yang berbunyi setiap orang yang dimuka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Ketika dibaca pada tutur redaksinya, tidak akan jauh berbeda dengan yang ada pada pasal 134 KUHP. Kembali lagi pada hakikatnya bukan permasalahan sedikit kata yang dirubah atau hukumnya, melainkan pada pantas atau tidak pasal tersebut diterapkan.

Banyak yang menilai bahwa pasal 263 itu pantas demi menjaga kehormatan presiden, dan nanti pengawasannya dengan membedakan antara kritik dan penghinaan. Mengenai perbedaan antara kritik dan penghinaan saya rasa tidak ada aturan yang menjadi pedoman untuk membedakan antara kritik dan penghinaan. Misalnya, saat seorang kawan melontarkan kata-kata yang sebenarnya tidak pantas, namun karena kita sudah akrab dengannya, sehingga perkataanya itu kita anggap sebagai gurauan. 

Sebaliknya, jika ada orang lain tiba-tiba berkata yang tidak pantas kepada kita, sudah pasti kita menganggapnya sebagai sebuah penghinaan, karena kita belum kenal dengan orang itu. Lantas jika seperti itu, cara membedakan antara kritik dan penghinaan itu dengan cara apa? atau apakah pasal tersebut akan menjadi pasal lesse majeste jilid 2 (untuk melindungi presiden)?

Telah banyak beberapa kejadian yang terjadi mengenai pasal 134 (sebelum RKUHP). Salah satunya adalah seorang aktifis yang sedang mengritik pemerintahan SBY saat itu, dan akhirnya dia dipenjarakan selama 6 bulan. Baru-baru ini juga muncul sebuah isu yang mencatut pasal 263 untuk seorang pengritik. Terjadi pada peristiwa "kartu kuning Jokowi" dan si pelaku kabarnya ditodong dengan pasal tersebut. 

Apakah presiden merasa tersinggung dengan kejadian tersebut dan merasa martabatnya direndahkan? Sudah pasti iya, karena sebelumnya memang si pelaku dan presiden tidak saling kenal. Lain cerita mungkin jika kartu kuning tersebut dikeluarkan oleh Kepala Staf Kepresidenan, mungkin saja bapak Jokowi tidak akan merasa tersinggung, karena mereka berdua sudah saling kenal dan mungkin hanya akan dianggap sebagai gurauan. 

Sebuah aturan atau undang-undang semestinya dibuat dengan bahasa yang memiliki pengertian yang kuat, bukan mengandung pengertian yang harus diraba terlebih dahulu. Jika kemudian seperti itu kenyataannya, maka pasal tersebut nantinya akan digunakan sebagai tameng oleh presiden. Kritikan-kritikan pedas yang dilontarkan bisa jadi akan dianggap sebagai penghinaan. Dan mungkin saja suatu saat, siapapun yang melawan presiden akan hilang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun