Peristiwa "kartu kuning" yang diterima oleh presiden Jokowi ternyata belum selesai hingga saat ini. Beberapa pendapat masih terus meluncur tajam menghujam antara pihak yang pro dengan pemerintah dan pihak yang kontra dengan pemerintah. Dari beberapa survey juga menunjukkan suatu angka yang seimbang mengenai opini masyarakat tentang kejadian tersebut, mulai dari masyarakat yang memegang cangkul hingga masyarakat intelektual. Tak hanya dari ruang lingkup masyarakat, presiden sendiripun turut serta menanggapi peristiwa yang menimpa dirinya.
Presiden Jokowi menananggap positif kejadian tersebut. Beliau bahkan menambahkan bahwa jajaran BEM UI akan dikirim ke Asmat untuk meninjau langsung keadaan yang ada disana. "Supaya teman-teman mahasiswa juga mengetahui keadaan Asmat seperti apa, tentang aksesnya, atau tentang lingkungan yang ada disana" begitu tambah bapak presiden kita. Menanggapi "perintah" presiden yang seperti itu, ketua BEM UI mengatakan penolakannya.
Dia mengatakan bahwa teman-teman mahasiswa akan berangkat ke Asmat dengan cara "mahasiswa" yaitu dengan cara menghimpun donasi pendanaan untuk berangkat ke Asmat tanpa menggunakan uang negara. "Karena uang negara lebih baik digunakan untuk pembangunan infranstruktur yang ada, bukan untuk membiayai mahasiswa", begitu pernyataan dari ketua BEM UI.
Merespon perihal pemberangkatan ke Asmat, rasanya sudah banyak mahasiswa-mahasiswa di Indonesia yang melakukan penelitian hingga ke pelosok-pelosok negeri, tak hanya Jokowi saja yang suka blusukan, mahasiswa juga seperti itu. Para mahasiswa blusukan juga tidak serta merta jalan-jalan belaka. Mereka melaksanakan tujuan-tujuan mereka untuk mengetahui seperti apa yang terjadi di daerah-daerah tertinggal di Indonesia.
Kemudian mereka menyusun berlembar-lembar laporan untuk hal itu, namun ketika laporan tersebut telah diserahkan ke kampus, ternyata tidak ada respon yang berkelanjutan. Tidak perlu bapak presiden repot-repot mengirimkan para mahasiswa ke daerah-daerah pelosok, karena hal itu sudah dilakukan oleh mahasiswa secara mandiri.
Apakah hanya dengan peristiwa seperti ini, kepekaan pemerintah baru akan muncul? Alangkah lebih baiknya apabila bapak presiden lebih memfasilitasi kegiatan mahasiswa yang seperti itu kedepannya dan tidak mengesampingkan peran mahasiswa sebagai penyambung lidah masyarakat.
Setelah bapak presiden berkomentar, turut pula Kepala Staf Keprsidenan Jendral Purnawirawan Moeldoko mengutarakan komentarnya. Menurutnya para mahasiswa ini mengeluarkan kritik yang kurang baik. Karena tidak mengetahui keadaan seperti apa yang terjadi.
Beliau juga menjelaskan kalau selama disana masyarakat, aparatur pemerintah, serta tentara sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki "masalah di Asmat". Â "Mahasiswa itu tidak tahu keadaan seperti apa yang terjadi disana, mereka hanya melihat dari jauh, seharusnya mereka ketika ingin menjadi wakil dari masyarakat juga harus merasakan jadi masyarakat, harus mencium bau keringat mereka". Itulah penuturan dari Moeldoko.
Dilihat dari penuturannya itu, sangat terlihat jika beliau menganggap bahwa mahasiswa sekarang keseluruhan berasal dari kaum menengah keatas yang sukanya hanya foya-foya.
Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Teman-teman kuliah saya banyak yang berasal dari golongan menengah kebawah, bahkan diantara mereka ada yang menggantungkan kuliahnya lewat beasiswa. Mereka semua rata-rata berasal dari rakyat kecil, dan telah bertahun-tahun mencium bau keringat orang tua mereka.
Dari mana seorang Kepala Staf Kepresidenan menyimpulakan kehidupan mahasiswa sebegitu mudahnya? Jika yang menjadi rujukan beliau adalah media-media sosial yang banyak mengekpos mahasiswa-mahasiwa hits, mungkin pernyataan beliau ada benarnya. Namun apakah semua mahasiswa seperti itu? Saya rasa jawabannya tidak.
Selanjutnya perihal isu dwi fungsi ABRI yang rasa-rasanya akan kembali rilis. Dikarenakan oleh kabar mengenai PLT Jawa Barat yang akan dipegang oleh anggota dari kepolisian. Mengenai hal ini, benar memang jika dikatakan perihal dwi fungsi ABRI ini sudah dihapuskan dan menjadi amanat reformasi. Namun, bukan tidak mungkin jika kejadian yang telah merusak demokrasi Indonesia beberapa tahun lalu itu bisa terulang kembali.
Apabila kejadian tersebut terulang, maka akan menjadi pukulan yang sangat hebat bagi seluruh masyarakat Indonesia karena harus jatuh pada lubang sama.
Tidak ada maksud untuk mencurigai beberapa pihak dalam tulisan ini, sebatas untuk merasa waspada akan kejadian buruk yang pernah dialami. Disisi lain dari pihak TNI dan POLRI selama ini juga telah menjadi tameng yang sangat baik bagi negara ini. Dalam perjalanannya, pembagian tugas aparatur sudah jelas, Legislatif, Eksekutif, dan juga Yudikatif.
Biarkan tiga hal tersebut berjalan sebagaimana mestinya. Karena juga sudah disebutkan bahwa TNI dan POLRI juga sudah sangat baik dalam menjalankan tugasnya sebagai pengawas peraturan atau undang-undang. Sekali lagi saya tegaskan bahwa dalam hal ini, tidak ada maksud untuk mencurigai beberapa pihak.
Dibalik kartu kuning Jokowi, ternyata ada satu isu yang bisa dibilang menarik untuk disoroti oleh mahasiswa. Isu mengenai mahasiswa yang dirasakan selama ini semakin di kekang oleh kehidupan kampus. Telinga para mahasiswa ini di sumpal oleh teriakan-teriakan dosen yang menuntut mereka supaya lulus cepat. Tangan dan kaki mereka di hentikan oleh tugas-tugas dan praktikum yang menumpuk. Isu ini tidak lain juga di benturkan oleh peraturan yang keluar dari kemenristekdikti baru-baru ini.
Salah satunya adalah tentang batas studi maksimal adalah lima tahun. Dengan waktu sesingkat itu, ditambah dengan padatnya jadwal para mahasiswa, apakah mungkin mahasiswa bisa menjadi kritis dan peka terhadap permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar lebih-lebih pada lingkup pemerintahan? Saya rasa jawabannya adalah mungkin. Jangan hanya di lihat dari beberapa media sosial mahasiswa hits era milenial ini, lihatlah pula para mahasiswa yang masih sibuk mengeluarkan kritikan mereka untuk pemerintahan.
Semua itu tetap akan dikembalikan kepada masing-masing individu mahasiswa yang ada. Tantangan mahasiswa era sekarang sebenarnya lebih besar. Karena mereka harus berjuang membagi waktu antara kuliah dan keaktifan mereka mendengar suara dari luar. Permasalahan mahasiswa ini sebenarnya sudah menjadi topik kajian setiap hari yang dilakukan oleh mahasiswa.
Namun sampai sekarang mereka tak kunjung menemukan solusinya, bahkan ada beberapa yang cenderung mengeluh. Namun, ketika permasalahan itu belum terpecahkan, ternyata masih banyak mahasiswa yang bisa membagi waktu mereka.Â
Terbukti dengan adanya peristiwa "kartu kuning Jokowi" menunjukkan bahwa mahasiswa milenial saat ini tidak hanya aktif di medsos, melainkan juga aktif untuk mengawal pemerintahan. Masih ada peluang buat diri mahasiswa untuk tidak menjadi pasif. Silahkan buka pikiran dan amati keadaan disekeliling, agar apa yang menjadi kodrat mahasiswa sebagai "lapisan masyarakat intelektual" bisa terwujud dan tidak hilang sepulang kuliah.
Semoga saja dengan kejadian seperti ini, mengenai sebuah tanda peringatan kepada presiden, menjadi babak baru kegiatan mahasiswa untuk mengawal pemerintah. Sehingga para kaum-kaum intelegensia seperti ini nantinya, tidak hanya menjadi robot-robot yang tunduk dan pasrah oleh sebuah sistem tanpa menimbang baik dan buruknya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H