Perkenalkan, nama saya Wahyu Fadhli, seorang mahasiswa hukum di salah satu Universitas di Jember yang sedang mengalami kebingungan. Dan kebingungan itu saya mulai dari diri saya sendiri sebagai anak muda.
Berbicara mengenai anak muda, maka berbicara pula mengenai segala tingkah laku nakal sekaligus liar. Namun dalam beberapa tingkah tersebut terkadang memunculkan sebuah tingkah kretif yang bernilai positif. Segala tingkah pemuda ini kadang kala disalurkan dalam hal yang positif maupun negatif.Â
Tingkah yang positif sudah tentu akan melahirkan sebuah manfaat yang berdampak pada diri mereka masing-masing, begitu pula sebaliknya, apabila di salurkan untuk perihal negatif, maka juga tak pelak akan menimbulkan dampak yang negatif pula. Pada kondisi seperti itu, terkadang para pemuda masih sulit untuk menentukan arah perilaku mereka, atau yang biasa disebut dengan "labil". Terkadang mereka melakukan hal-hal yang mereka sendiri menganggap itu merupakan hal postif, namun bagi orang lain justru malah dipandang sebagai hal yang negatif. Untuk mengontrol itu semua, maka dibentuklah lembaga-lembaga pendidikan.
 Dimulai dari tingkat Sekolah Dasar sebagai pendidikan awal guna menjadi remaja yang lebih baik nantinya. Kemudian berlanjut pada tingkat Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas. Disini mereka di didik untuk belajar menentukan arah tindakan mereka. Apakah mereka akan mengimplementasikan gairah muda mereka unuk hal positif ataupun negatif. Kemudian ada tingkat Universitas. Disini anak-anak muda yang sudah mulai menemukan jati dirinya mulai lebih menentukan fokus arah perilaku mereka.
Saat ini saya tidak akan membahas mengenai jenjang pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, atau Sekolah Menengah Atas. Melainkan akan saya titik tekankan pada tingkat Universitas. Karena pada tingkatan ini para pemuda bisa dikatakan sebagai ujung tombak dari kaum integensia yang paling terhormat. Apabila dunia kampus sudah bobrok, maka bisa dikatakan kehidupan di lingkungan masyarakat akan mengalami kebobrokan yang serupa. Para pemuda yang berkecimpung didunia kampus ini biasa disebut dengan "mahasiswa".Â
Mahasiawa sering kita dengar digadang-gadang menjadi agent of change atauagen perubahan. Namun jika kita lihat realita mahasiswa era sekarang, apakah jargon tersebut bisa terwujud atau hanya sekedar pemanis belaka? Agaknya hal itu juga harus dilihat dari sistem pendidikan tinggi yang ada di Indonesia saat ini.Â
Ketika mahasiswa sekarang mengalami kemunduran yang luar biasa dibandingkan dengan mahasiswa pendahulu, maka tidak bisa melulu dari diri mahasiswa yang dijadikan kambing hitam. Coba sedikit kita benturkan dengan sistem pendidikan tinggi yang ada saat ini, apakah saat ini sistem tersebut mendukung mahasiswa untuk mewujudkan jargon tersebut atau tidak.Â
Dengan adanya peraturan bahwa mahasiswa harus lulus lima semester, saya rasa hal itu bisa menjadi salah satu penghambat seorang mahasiswa bisa mewujudkan jargon tersebut. Sistem tersebut secara otomatis akan mengekang para mahasiswa untuk lebih eksplor kehidupan kampusnya. Mereka akan takut menyalurkan kretifitas-kreatifitas mereka karena didesak harus mendapat IPK bagus supaya lulus cepat.Â
Hal ini disamping berdampak pada kretifitas seorang mahasiswa, juga akan berdampak pada aplikasi dari jurusan yang mereka tempuh, dan pasti akan menciptakan mahasiswa yang apatis. Karena ketika mereka semua berlomba-lomba untuk mendapat IPK bagus, mereka tidak sadar bahwa untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat juga membutuhkan pengalaman sosial kemasyarakatan. Dan hal ini yang saya rasa sudah mulai hilang dari mahasiswa zaman sekarang.
Saya ambil contoh seorang mahasiswa hukum yang mendapatkan IPK tiga koma nol. Mahasiswa tersebut telah sukses mendapat nilai yang baik, namun apakah mahasiswa tersebut juga baik dalam pengamalannya kelak? Saya rasa belum tentu. Katika mahasiswa tersebut sibuk dengan nilai-nilainya, otomatis dia akan melupakan kodratnya sebagai manusia biasa yang membutuhkan komunikasi dengan manusia lain.Â
Mahasiswa hukum seperti ini ketika menjalani kegiatan Kuliah Kerja Nyata yang notabene mengharuskan untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakat, akan mengalami kesulitan. Karena mereka selama ini hanya terpaku pada buku dan buku. Ketika muncul pertanyaan dari masyarakat desa tempatnya melakukan KKN mengenai hukum, dia tidak akan bisa memahamkan masyarakat desa tersebut, dikarenakan penjelasannya sudah jelas akan menggunakan kata-kata bermakna tinggi yang tidak bisa warga desa mengerti.Â
Kemudian ketika mahasiswa hukum tersebut melaksanakan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan di Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Negeri, mereka akan mengalami kesulitan yang serupa. Kesulitan yang mereka hadapi tertuju pada pengambilan keputusan ketika mereka disuruh untuk praktek menjadi hakim. Yang akan menjadi pertimbangan mereka nantinya hanyalah pada undang-undang semata, tanpa memerhatikan aspek sosiologis yuridisnya.
Setelah mereka lulus, mereka hanya akan menjadi hakim yang pasif, menjadi hakim yang tidak bisa berinisiatif. Hakim yang hanya takut untuk bertindak demi keadilan dan hanya terpatok pada undang-undang yang ada. Penegak Hukum seperti inilah yang akan menimbulkan lebih banyak lagi kasus-kasus mafia peradilan, atau putusan perkara ringan yang dibesar-besarkan. Jika hal ini tetap berlanjut, maka sistem peradilan di Indonesia akan mengalami kemosrotan.Â
Nantinya apara pemulung akan dipenjara berpuluh-puluh tahun akibat mengambil barang yang bukan haknya dan koruptor akan tertawa. Agaknya memang tidak hanya sistem pendidikannya yang mengalami difungsional, melainkan juga dari sikap dan sifat para mahasiswanya. Ketika para mahasiswa hukum memilih jalan hanya untuk patuh terhadap sistem tersebut dan mengabaikan kodrat mereka yang sebenarnya, bukan tidak mungkin sistem peradilan di Indonesia yang telah saya sebutkan tadi akan menjadi kenyataan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H