Pernyataan terbaru Presiden Prabowo Subianto yang mendukung ekspansi perkebunan kelapa sawit telah memicu kembali perdebatan nasional mengenai keberlanjutan lingkungan dan prioritas ekonomi.
Dalam pidatonya, ia menyebut bahwa perkebunan sawit dapat menyerap karbon layaknya hutan---klaim yang mendapat dukungan sekaligus skeptisisme. Kritik menilai pandangan tersebut berpotensi melegitimasi alih fungsi lahan yang dapat memperparah degradasi lingkungan.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit memiliki implikasi besar terhadap ketahanan pangan, energi, dan air (the food-energy-water nexus (FEW)) Indonesia. Konsep nexus FEW, yang diperkenalkan oleh World Economic Forum (WEF) pada 2008, menekankan bahwa kebutuhan sumber daya saling terkait dan gangguan pada sistem dapat memengaruhi sistem lainnya.
Pemahaman ini krusial bagi masa depan Indonesia karena janji kemakmuran dapat berubah menjadi ancaman jika strategi keberlanjutan diabaikan.
Hingga 2024, Indonesia memiliki lebih dari 16 juta hectare perkebunan sawit, menjadikannya produsen terbesar di dunia. Namun, pertumbuhan ini diseetai dengan biaya lingkungan dan sosial yang signifikan, termasuk deforestasi dan konflik lahan.
Alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit juga mengorbankan lahan yang dapat digunakan untuk produksi pangan. Meskipun memiliki lahan subur yang luas, Indonesia masih bergantung pada impor untuk komoditas pokok seperti beras, kedelai, dan jagung.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor lebih dari 2,5 juta ton kedelai pada 2023 untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Di lain sisi, program biofuel juga mengalami paradoks. Program biodiesel Indonesia, seperti mandate B30, menjadi pilar kebijakan energi terbarukan. Pemerintah mengklaim kebijakan ini mengurangi impor bahan bakar fosil dan emisi karbon. Namun, aktivis lingkungan menilai bahwa kebijakan ini kurang transparan dan justru memicu deforestasi.
Proses produksi biofuel berbasis kelapa sawit masih menghadapi kritik karena pelepasan karbon akibat pembukaan lahan gambut yang signifikan. Laporan World Resources Institute memperkirakan bahwa pembukaan satu hectare lahan gambut dapat melepaskan hingga 3.000-ton CO2 ke atmosfer.
Pendekatan energi yang terlalu berfokus pada kelapa sawit juga mengalihkan sumber daya dari pengembangan enegri bersih lainnya, seperti surya, angin, dan biofuel generasi kedua dari limbah pertanian.