Saat dunia mempercepat upaya untuk melawan perubahan iklim, alih teknologi (technology transfer) muncul sebagai mekanisme penting untuk menjembatani kesenjangan antara inovasi dan keadilan iklim.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki potensi besar namun akses terbatas terhadap teknologi maju, alih teknologi menjadi kunci dalam membangun masa depan berkelanjutan.
Namun, untuk memanfaatkan potensi alih teknologi sepenuhnya, Indonesia harus menghadapi tantangan kompleks seperti hak kekayaan intelektual (IPR), keterbatasan pendanaan, dan ketidakadilan global. Diperlukan cetak biru yang berlandaskan keadilan dan kesetaraan untuk mengubah tantangan ini menjadi peluang bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Alih teknologi, sebagaimana didefinisikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tidak hany amelibatkan transfer peralatan, tetapi juga penyebaran pengetahuan, keterampilan, dan kapasitas inovasi.
Ini adalah alat penting bagi negara berkembang untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Namun, kerangka kerja alih teknologi saat ini belum memadai untuk mencapai tujuan iklim global.
Berdasarkan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), negara maju memiliki kewajiban utama untuk memfasilitasi dan membiayai transfer teknologi ramah lingkungan (environmentally sound technology/EST). Namun kemajuan di bidang ini berjalan lambat.
Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa banyak teknologi iklim yang terbukti efektif tidak sampai ke negara berkembang yang paling membutuhkan untuk mencapai target Perjanjian Paris. Bagi Indonesia, kesenjangan ini menjadi penghalang untuk memenuhi target Nationally Determined Contributions (NDCs).
Sebagai pusat global untuk sumber daya penting seperti nikel (komponen utama baterai kendaran listrik), Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin dalam teknologi hijau. Namun, hambatan besar seperti ketatnya rezim IPR, kesenjangan pendanaan, keterbatasan kapasitas teknis, dan ketimpangan global menghalangi pemanfaatan potensi ini sepenuhnya.
Pendekatan Berbasis Keadilan
Guna mengatasi tantangan ini, Indonesia perlu mengadopsi pendekatan alih teknologi yang berpusat pada keadilan, dengan menekankan kolaborasi dan pembangunan kapasitas jangka panjang.
Pertama, mengadopsi model hibrida. Keterbatasan model berbasis pasar murni (pure market) mengharuskan adanya pendekatan hibrida yang menggabungkan insentif pasar dengan mandat publik. Misalnya, Indonesia dapat menerapkan mekanisme lisensi wajib, memungkinkan industri domestik memproduksi teknologi hijau yang dipatenkan dalam kondisi tertentu.
Kolaborasi antara perusahaan lokal dan multinasional, seperti kemitraan Indonesia dengan CATL (produsen baterai EV terbesar di dunia) dapat mendorong difusi teknologi sambil menciptakan nilai lokal. Investasi senilai $5 miliar untuk membangun rantai pasok baterai terintegrasi di Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana alih teknologi dapat menguntungkan perokonomian domestik.
Kedua, memperkuat kolaborasi regional. Indonesia dapat meningatkan daya tawarnya melalui aliansi regional seperti ASEAN. Inisiatif kolaboratif, seperti perjanjian permintaan bersama untuk teknologi energi terbarukan, dapat mengurangi biaya dan meningkatkan akses untuk negara anggota.
Rencana Kerja ASEAN untuk Kerja Sama Energi (APAEC) 2021-2025, yang memprioritaskan kolaborasi di bidang energi terbarukan dan efisiensi energi, menyediakan kerangka kerja untuk perjanjian alih teknologi di kawasan.
Ketiga, membangun kapasitas domestik. Investasi dalam pendidikan, penelitian, dan inovasi sangat penting untuk meningkatkan kemampuan Indonesia dalam menyerap dan menyesuaikan teknologi impor.
Pemerintah juga perlu mendorong manufaktur lokal untuk teknologi utama, seperti panel surya dan baterai EV, guna mengurangi ketergantungan pada impor. Kawasan Industri Terpadu Batang, misalnya, dirancang untuk menarik investasi dalam manufaktur teknologi energi terbarukan dan menciptakan ribuan lapangan kerja.
Keempat, mereformasi kerangka regulasi. Regulasi yang jelas dan prediktif sangat penting untuk menarik investasi asing dalam teknologi hijau. Indonesia perlu menyederhanakan proses regulasi, termasuk insentif pajak untuk industri hijau dan perlindungan bagi investor, sembari memastikan kebijakan ini sejalan dengan tujuan keberlanjutan.
Pengenalan Taksonomi Hijau Indonesia 2022 memberikan kejelasan bagi investor dengan mengkategorikan kegiatan ekonomi berkelanjutan, sehingga mengarahkan arus investasi ke arah tujuan iklim.
Kelima, meningkatkan dukungan finansial. Untuk memobilisasi dana yang dibutuhkan, Indonesia harus memanfaatkan berbagai sumber, termasuk obligasi iklim, hibah internasional, dan investasi swasta. Penerbitan Green Sukuk senilai $750 juta pada 2021 menunjukkan bagaimana mekanisme pembiayaan inovatif dapat mendukung proyek energi terbarukan dan ketahanan iklim.
Lebih jauh, alih teknologi lebih dari sekadar proses teknis; ini adalah soal keadilan. Dalam jangka pendek di tahun 2025, Indonesia dapat membangun kerangka kerja nasional untuk alih teknologi dengan memprioritaskan joint venture, sekaligus merundingkan perjanjian alih teknologi regional di ASEAN.
Dalam jangka menengah hingga tahun 2030, fokusnya adalah membangun kapasitas manufaktur lokal untuk teknologi hijau, didukung insentif regulasi dan finansial yang kuat. Sementara itu, dalam jangka panjang sampai tahun 2050, Indonesia harus memposisikan diri sebagai pemimpin global dalam inovasi teknologi hijau, memanfaatkan kekayaan sumber daya dan lokasi strategisnya.
Dengan memanfaatkan alih teknologi secara adil, Indonesia dapat melangkah lebih jauh. Dari sekadar penerima manfaat menjadi pemimpin perubahan global menuju keberlanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H