Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Trump 2.0: Kembalinya Sang Cornucopian

19 Desember 2024   05:59 Diperbarui: 19 Desember 2024   05:59 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Craig Stephens(South China Morning Post)

Dalam mitologi Yunani kuno, Cassandra adalah seorang peramal yang dikutuk untuk selalu berkata benar, tetapi tidak pernah dipercaya. Peringatannya tentang kehancuran yang akan datang diabaikan, hingga akhirnya Troy jatuh. Sebaliknya, "cornucopian" mengambil namanya dari tanduk kelimpahan, simbol optimisme tak terbatas. Mereka percaya bahwa kecerdikan manusia dan kemajuan teknologi dapat mengatasi semua tantangan, termasuk krisis iklim.

Ketegangan antara dua pandangan dunia ini---kehati-hatian Cassandra dan optimisme cornucopian---telah lama mendefinisikan politik iklim global. Hari ini, jurang perbedaan itu semakin tajam, terutama setelah terpilihnya kembali Donald Trump. Kebijakan iklimnya berpotensi mengancam kemajuan global yang sudah rapuh.

Kemenangan Trump dan sekutunya dari Partai Republik menjadi momen yang mengkhawatirkan bagi aksi iklim global. Trump berjanji menarik Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris dan bahkan dari UNFCCC. Ia juga berencana membongkar kebijakan pro-iklim seperti Inflation Reduction Act (IRA) yang mengalokasikan $361 miliar untuk proyek energi hijau dan diperkirakan dapat memangkas emisi karbon AS hingga 40% pada 2030. Pembatalan inisiatif ini bisa menambah 4 miliar ton emisi karbon pada 2030, menempatkan AS---dan dunia---dalam jalur yang berbahaya.

AS, sebagai penyumbang karbon terbesar sepanjang sejarah dan pemain kunci diplomasi iklim, memiliki tanggung jawab besar. Mundurnya AS di bawah Trump akan memperburuk kesenjangan pendanaan inisiatif iklim. Sementara itu, dunia telah melewati ambang pemanasan 1,5C beberapa kali pada 2024, menurut Copernicus Climate Change Service. Laporan UNEP memperingatkan bahwa emisi global harus turun 43% pada 2030 untuk menghindari skenario bencana, tetapi komitmen saat ini hanya menargetkan penurunan 2,6%.

Retorika Trump mencerminkan pandangan cornucopian yang menganggap krisis iklim sebagai tantangan yang dibesar-besarkan. Pilihannya untuk Menteri Energi, Chris Wright---CEO Liberty Energy---menguatkan hal ini. Wright mempromosikan bahan bakar fosil sebagai kebutuhan moral dan secara terbuka mengejek target emisi nol bersih. Kebijakan ini berlawanan dengan tren global menuju dekarbonisasi.

Di bawah pemerintahan Biden, AS telah berkomitmen $3 miliar untuk Green Climate Fund, instrumen vital untuk pembiayaan iklim di negara berkembang. Namun, Trump kemungkinan besar akan menghentikan kontribusi ini, memberikan pukulan telak pada pendanaan iklim global. Sebagai emitor terbesar kedua di dunia, AS baru memenuhi 32% dari komitmen $44,6 miliar untuk pendanaan iklim global, menurut Overseas Development Institute.

Dampak Global dan Respon Internasional

Dampak kebijakan Trump meluas hingga ke negara-negara berkembang di Global South, yang sangat bergantung pada pendanaan iklim untuk proyek energi terbarukan dan ketahanan iklim. Target pendanaan $100 miliar per tahun yang ditetapkan pada COP15 baru tercapai pada 2022, itu pun masih jauh dari kebutuhan. Mantan Menteri Keuangan AS Janet Yellen memperkirakan dunia membutuhkan $3 triliun per tahun hingga 2050 untuk mencapai target iklim global.

Sementara itu, Tiongkok dan India, emitor karbon terbesar dan ketiga terbesar dunia, memberikan sinyal campuran. Meski Tiongkok meningkatkan produksi energi surya hingga 21,7% pada 2024, penggunaan batu baranya juga naik 3,7%. India, di sisi lain, menambah 13,9 GW kapasitas batu bara baru pada 2024, peningkatan terbesar dalam enam tahun terakhir. Ketergantungan ini menunjukkan pentingnya kerja sama global dan risiko mundurnya AS.

Kebijakan Trump adalah peringatan ala Cassandra bagi komunitas global: optimisme cornucopian tanpa tindakan hanya akan memperburuk krisis iklim. Negara-negara lain harus mengambil langkah untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan AS. Uni Eropa, meski menghadapi tantangan seperti menurunnya permintaan EV dan kebangkrutan Northvolt, masih memiliki potensi untuk memimpin aksi iklim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun