Saat Inggris menandai akhir dari era energi berbasis batubara, Indonesia berada pada titik kritis dalam perjalanan mencapai target energi bersih.
Pada 30 September 2024, Inggris menjadi negara G7 pertama yang menghentikan penggunaan batubara dalam pembangkit listrik, dengan menutup Pembangkit Listrik Ratcliffe-on-Soar setelah 142 tahun beroperasi.
Dengan target 95% listrik rendah karbon pada tahun 2030 dan emisi nol-bersih pada tahun 2035, Inggris telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap transisi energi yang dipandu oleh kebijakan jangka panjang.
Indonesia, sementara itu, sedang bersiap menyambut pergantian pemerintahan. Di tengah perubahan ini, pemerintah baru memiliki kesempatan langka untuk meninjau kembali ketergantungan negara pada batubara dan mendorong arah yang lebih berkelanjutan.
Di Indonesia, penggunaan batubara masih sangat dominan, khususnya di pembangkit listrik yang mendukung industri smelter. Kawasan Industri Morowali Indonesia (IMIP), sebagai contoh, mengoperasikan dua PLTU dengan kapasitas gabungan lebih dari 6.800 MW untuk mendukung kegiatan pengolahan nikel, komoditas penting bagi rantai pasok kendaraan listrik dunia.
Meskipun Indonesia berjanji mencapai emisi nol-bersih pada tahun 2060, izin untuk pembangkit batubara baru terus dikeluarkan, terutama untuk mendukung industri seperti smelter nikel. Ketergantungan ini bertentangan dengan komitmen iklim kita dan menghadirkan biaya lingkungan yang sangat besar, terutama bagi masyarakat lokal.
Banyak komunitas sekitar yang melaporkan kerusakan ekosistem: terumbu karang yang mati, hilangnya hutan mangrove, dan polusi air yang menghancurkan kehidupan laut. Kualitas udara dan air di kawasan ini pun semakin memburuk, dengan debu batubara dan polutan lainnya menyusup ke dalam tanah dan sumber air.
Sebagai Presiden terpilih, Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar untuk mendorong transisi energi Indonesia ke arah yang lebih bersih dan berkelanjutan. Ini bukan tugas yang mudah, dengan adanya keterbatasan keuangan, tekanan internasional, dan kebutuhan untuk menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan komitmen lingkungan. Untuk menghadapi situasi ini, ada tiga opsi strategis yang dapat dipertimbangkan.
Pertama, menjajaki kemitraan di luar aliansi tradisional. Dalam mencapai tujuan energi bersih, pemerintahan Prabowo mungkin perlu menjalin kemitraan di luar kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP).
China, misalnya, telah menunjukkan kemajuan luar biasa dalam energi terbarukan, meningkatkan pangsa energi bersihnya dari 5% menjadi 40% dalam dua dekade terakhir. Kemitraan dengan China bisa memberi dukungan finansial dan teknologi, namun pendekatan ini juga memiliki tantangan.