Investasi China di Indonesia selama ini berfokus pada pembangkit batubara untuk menggerakkan kawasan industri seperti smelter nikel. Untuk menciptakan kemitraan yang berkelanjutan, Indonesia harus memastikan bahwa kolaborasi di masa depan lebih menekankan energi terbarukan daripada melanggengkan ketergantungan pada batubara.
Kedua, menerapkan mandat energi bersih untuk smelter. Smelter merupakan konsumen energi yang sangat besar, sehingga menjadi sasaran utama bagi kebijakan energi terbarukan. Dengan mewajibkan smelter baru untuk beroperasi menggunakan energi bersih, kita bisa mengurangi jejak karbon dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat di sekitar tambang.
Pusat Riset Keuangan untuk Energi Bersih (FRECCE) telah mendukung kebijakan energi terbarukan bagi smelter, menyoroti manfaat kesehatan bagi masyarakat yang terkena dampak polusi tambang. Kebijakan ini tidak hanya mendekatkan kita ke tujuan iklim, tetapi juga menetapkan standar bagi pembangunan industri yang bertanggung jawab.
Terakhir, memperkenalkan pajak keuntungan batubara. Untuk mendanai transisi energi, pemerintah dapat menerapkan pajak keuntungan pada industri batubara. Dengan tarif pajak 25%, kita bisa mengumpulkan sekitar Rp 25 triliun per tahun.
Dana ini dapat digunakan untuk menutup pembangkit batubara lama dan mendukung pengembangan proyek energi terbarukan. Selain itu, menangani masalah tambang ilegal dan royalti yang belum dipungut berpotensi menambah Rp 50 triliun setiap tahun. Dengan pendanaan yang kuat, kita bisa membangun fondasi yang kokoh untuk mencapai ambisi energi bersih.
Namun, tantangannya tetap besar. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) menunjukkan bahwa sekitar 40.967 MW kapasitas tambahan direncanakan pada tahun 2030, dan hampir 30% dari kapasitas ini dialokasikan untuk batubara.
Ini menyoroti ketidaksesuaian antara komitmen iklim Indonesia dan kebijakan energinya di lapangan. Skema penggantian karbon memang memberikan sedikit kelonggaran, namun belum cukup untuk mendorong transisi energi yang menyeluruh.
Keputusan Inggris untuk menghentikan penggunaan batubara membuktikan bahwa perencanaan jangka panjang dan komitmen terhadap dekarbonisasi memang dapat tercapai. Dalam transisi energi kita, Indonesia harus melihat melampaui kepentingan jangka pendek dan benar-benar menyelaraskan kebijakan energi dengan komitmen iklim.
Presiden terpilih Prabowo memiliki kesempatan untuk merumuskan ulang arah kebijakan energi Indonesia, dengan memanfaatkan kemitraan, menegakkan mandat energi bersih, dan mengamankan sumber pendapatan alternatif untuk menciptakan masa depan yang berkelanjutan.
Dengan memprioritaskan energi terbarukan dan mengambil langkah nyata untuk mengurangi ketergantungan pada batubara, Indonesia bisa menegaskan diri sebagai pemimpin energi bersih di Asia Tenggara.
Tantangan ini memang tidak mudah, namun keberhasilan transisi energi kita adalah kebutuhan mendesak, baik untuk kesejahteraan domestik maupun untuk peran Indonesia di panggung global dalam menghadapi krisis iklim.