Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memantau Ekonomi Hijau

29 Mei 2023   21:43 Diperbarui: 29 Mei 2023   21:47 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu persoalan fundamental yang seringkali menjadi perdebatan dalam diskursus mitigasi perubahan iklim adalah model ekonomi. Tidak bisa dimungkiri, sistem ekonomi yang mengedepankan derasnya sirkulasi modal kapital dalam beberapa abad terakhir memberi efek samping yang buruk bagi bumi. Apalagi di negara berkembang yang bertumpu pada industri ekstraktif. Atas nama pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), besaran profit adalah yang utama, menggeser urgensi keberlanjutan lingkungan.

Namun, paradigma tersebut lambat laun terkikis oleh derasnya dorongan publik untuk turut memasukkan faktor keberlanjutan dalam variabel ekonomi produksi. Setidaknya, saya menjustifikasi hal tersebut dari menghangatnya perdebatan antara model ekonomi green growth dan de-growth. Pertumbuhan hijau bermakna proses tumbuh kembangnya sebuah sistem ekonomi yang menitikberatkan pada keberlanjutan lingkungan. Sementara de-growth mengacu kepada pembatasan ekonomi produksi demi menjaga daya dukung lingkungan.

Terlepas dari siapa yang unggul, kabar baiknya kita tidak lagi menemukan aspek business as usual sebagai salah satu pilihan. Semacam pertanda, betapa isu lingkungan, perubahan iklim dan teman-temannya telah menjadi salah satu public top of mind. Bak gayung bersambut, perdagangan dan industri di dunia tengah menghijau. Produk-produk ramah lingkungan mulai ramai diperdagangkan. Hingga klaster-klaster industri hijau ramai dirintis dan dikembangkan.

Mengutip data yang dirilis oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), total nilai perdagangan barang secara global di tahun 2022 menyentuh angka 25 triliun dollar AS. Menariknya, 10.7% diantaranya atau sekitar 1.9 triliun rupiah, berasal dari perdagangan produk-produk ramah lingkungan. Jika kita bandingkan dengan performa tahun 2021, perdagangan produk hijau mengalami kenaikan 100 milliar dollar AS.

Beberapa produk ekonomi hijau yang mendongkrak angka-angka fantastis tersebut adalah kendaraan listrik dan hibrida dengan laju pertumbuhan 25% per tahun. Diikuti produk dengan kemasan nonplastik pada kisaran 20%, dan turbin angin mengalami pertumbuhan 10%. Bisa dibilang, ini adalah salah satu bukti komitmen dunia untuk mengatasi perubahan iklim dengan mengurangi emisi. Pondasi ekonomi hijau terus menguat, dibangun berlandaskan teknologi dan industri ramah lingkungan.

Saya sempat membaca salah report yang dirilis oleh UNCTAD bulan Maret kemarin, yang bertajuk Technology and Innovation Report 2023: Opening Green Windows. Satu hal penting yang bisa saya bagi dalam tulisan ini adalah industri berbasis ekonomi hijau diproyeksikan akan terus berkembang pesat seiring meningkatnya upaya negara-negara di dunia untuk menekan laju pemanasan global. Bahkan, pola perdagangan internasional lintas kontinen yang penuh dengan jejak karbon mulai diantisipasi. Perlahan bertransisi menuju ekonomi global yang lebih ramah lingkungan.

Lebih jauh, UNCTAD juga turut memproyeksikan pertumbuhan pasar global untuk mobil listrik, energi matahari dan angin, hidrogen hijau, dan beberapa teknologi hijau lainnya menyentuh 2.1 triliun dollar AS di tahun 2030. Nilai pasar tersebut empat kali lipat lebih besar dari ukuran modal ekonomi hari ini, di pasar yang sama. Lantas, bagaimana respon industri tanah air?

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kita turut memantau peluang ekonomi hijau yang tengah menjangkiti pasar global. Hal tersebut ditandai dengan dibentuknya klaster industri hijau dengan produk berupa hidrogen hijau dan amonia hijau. Konsorsium ini melibatkan tiga BUMN, PT. PLN (Persero), PT. Pertamina (Persero), dan PT. Pupuk Indonesia (Persero).

Rencananya, PLN akan berperan dalam penyediaan energi hijau yang bersumber dari energi terbarukan, sekaligus melakukan sertifikasi untuk memberikan Renewable Energy Certificate (REC). Sementara Pertamina akan terlibat dalam dekarbonisasi mulai dari tingkat operasional sampai memastikan hadirnya produk-produk ramah lingkungan. Salah satunya dengan menghadirkan infrastruktur Carbon Capture Storage/Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCS/CCUS) untuk memanfaatkan emisi karbon. Sementara Pupuk Indonesia, akan memproduksi pupuk amonia hijau dan amonia baru. Juga muncul rencana untuk turut memanfaatkan emisi karbon, limbah amonia, dan natrium klorida sebagai bahan baku soda ash.

Tentu, ini adalah awal yang baik bagi klaster industri hijau tanah air untuk bertumbuh dan turut meramaikan pertumbuhan ekonomi hijau di tingkat global. Pada awalnya mungkin dimulai oleh BUMN, namun harapannya akan lebih banyak swasta yang turut serta. Akhirnya, kita memiliki alternatif strategis untuk memompa besaran PDB tanpa harus bermain zero-sum game dengan ibu bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun