Setiap tahunnya, para pemimpin negara dunia mencoba memenuhi amanat perjanjian Paris 2015, menjaga laju kenaikan suhu bumi di bawah 1.5 derajat celcius, melalui forum Convention of Parties (COP).Â
Tentu, ini bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Bagaimanapun, kita masih belum bisa begitu mengontrol biang dari kenaikan suhu tersebut, yakni emisi karbon.Â
Dari kacamata produksi, mengerem jumlah karbondioksida di udara sama dengan mengerem laju pertumbuhan ekonomi.Â
Terima atau tidak, mayoritas industri kita masih digerakkan oleh energi listrik kotor yang berasal dari batubara. Kendatipun demikian, para pemimpin dunia mulai mencanangkan target net zero emission (emisi nol bersih) dengan beralih ke sumber energi terbarukan.
Situasi menjadi semakin menarik di tengah eskalasi perang Rusia-Ukraina. Seperti diketahui, Barat ramai-ramai menjatuhkan sanksi kepada Rusia atas aneksasi yang dilakukan, yang dianggap menyalahi hukum internasional. Rusia pun melawan balik dengan menghentikan pasokan gas mereka, melalui Gazprom, ke Eropa.
Hal tersebut membuat banyak negara kelimpungan menyambut musim dingin. Jerman memutuskan kembali menyalakan sejumlah pembangkit listrik tenaga uap untuk memenuhi pasokan energinya.Â
Dalam komposisi bauran energi primer pembangkit listrik, Jerman menggunakan 28,1 persen dari batubara untuk PLTU.
Tidak hanya Jerman, Belanda dan Austria turut mencabut semua pembatasan penggunaan bahan bakar fosil dan membangkitkan kembali sumber energi pembangkit listrik batubara.Â
Hal ini bukan tanpa alasan, rata-rata negara Uni Eropa mendapat pasokan gas dari Rusia hingga 40% dari total kebutuhan.Â
Sehingga, kembali ke energi kotor adalah satu-satunya pilihan bagi mereka untuk memitigasi krisis energi.Â