Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Ketika Negeri Pejabat Memimpikan Silicon Valley

26 Maret 2022   12:09 Diperbarui: 26 Maret 2022   12:12 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mencoba memulai tulisan ini dari buku World Without Mind (Penguin Random House UK, 2017) yang ditulis oleh Franklin Foer. Ada satu cerita tentang Stewart Brand dan peradaban San Fransisco yang menambah khazanah saya terkait dunia sains dan inovasi. Hemat saya, dunia sains dan inovasi tidak jauh berbeda dengan dunia seni maupun sastra. Keduanya memiliki hakikat yang sama, dunia penjelajahan yang berkaitan erat dengan kebebasan.

Pada awal 1960-an, Stewart Brand yang merupakan putra mahkota kelompok hippies mengemudi dari San Fransisco menuju wilayah penampungan kaum Indian. Ia mendapatkan pesanan untuk membuat brosur mengenai Indian. Kaum hippies, yang mungkin anggapan orang zaman sekarang tergolong manusia purba, namun mereka pemuja kebebasan serta memiliki idealisme mengenai dunia baru yang lebih baik.

Pada perkembangannya, Brand turut menulis sebuah buku yang berjudul Whole Earth Catalog. Semacam panduan bagi mereka yang ingin hidup bebas dan mandiri layaknya kaum hippies. Bagi pendiri Apple, Steve Jobs, mengemukakan bahwa Whole Earth Catalog bak salah satu bible generasi mereka. Bagaimanapun, saat itu spiritualitas baru bertajuk New Age tengah bersemi.

Melalui bukunya, Brand mengartikulasikan impian generasinya betapa kegagalan sistem politik akan diterobos oleh teknologi. Termasuk di dalamnya humanitas, ketika politik tak lagi efisien, komputer akan mengambil alih. Menariknya Stewart Brand telah berhasil memantik jiwa-jiwa bebas melalui pemikirannya untuk membangun kerajaan teknologi di selatan San Fransisco. Hari ini, kita mengenalnya sebagai Silicon Valley yang tidak lahir dari omong besar para politikus, melainkan dari semangat komunal dan pembebasan. Hal tersebut mudah saja kita jumpai dari penampilan para CEO. Egaliter, tidak birokratis, mereka hanya mengenakan T-shirt, dan tentu saja yang paling penting, tidak menghamba partai politik.

Walaupun demikian, tetap saja ada sisi gelap dalam kerajaan tersebut yang tertuang dalam paradoks teknologi. Inovasi teknologi akan melahirkan monopoli. Bahkan melampaui teknologi berbasis sirkuit listrik di era sebelumnya. Tak ayal, sistem jaringan ini turut mempengaruhi sistem saraf dan otak manusia. Mayoritas hidup kita dihabiskan di tengah gemerlap dunia maya. Betapa pun, dunia senantiasa membutuhkan terobosan dan inovasi.

Satu hal yang perlu digaris bawahi. Bila Silicon Valley terlahir dari jiwa-jiwa merdeka, di negara kita sains dan teknologi adalah dunia birokrasi. Jelasnya, dunia pejabat. Tidak bisa dimungkiri, negeri ini adalah negeri pejabat. Aktivis, pedagang, artis, tua-muda, semua jadi pejabat dan ingin menjadi pejabat. Mereka menguasai lembaga-lembaga, institusi, organisasi, bahkan tidak ketinggalan jalan raya dengan mobil dilengkapi sirene lengkap dengan lampu strobo.

Pertanyaannya kemudian, adakah yang percaya mereka tengah tergesa-gesa karena hendak memajukan sains, teknologi, riset, kebudayaan, bangsa, atau memajukan apa saja? Bercermin dari kondisi sekarang, nampaknya belum mengarah ke sana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun