Dalam konsep Sustainable Development Goals (SDGs) Framework, sebelum mencapai keberlanjutan ekonomi, kita perlu berpijak pada dasar yang kuat, yakni keberlanjutan lingkungan.Â
Arsitektur pembangunan ekonomi pasti ambruk, bila kita senantiasa membuat masalah dengan ekosistem biosfer di bumi. Kemunculan virus Covid-19 dapat menjadi tes awal, betapa manusia begitu rentan dengan ketidakstabilan lingkungan. Sehingga, inisiasi untuk menggulirkan green economy atau ekonomi hijau marak mengisi diskursus di tengah pandemi.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut pertumbuhan ekonomi hijau dapat mengubah wajah perekonomian nasional agar lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Hal ini dipicu oleh kondisi terkini bumi kita yang diambang kiamat iklim.Â
Umat manusia seolah belum bisa beralih dari kebiasaan buruk memproduksi polusi karbon. Akibatnya, konsekuensi sosial, lingkungan, dan ekonomi yang terus memburuk akan segera menyapa.
Satu isu sentral dalam agenda pertumbuhan ekonomi hijau adalah transisi energi. Bagaimanapun, sumber emisi terbesar Gas Rumah Kaca (GRK) masih berasal dari sektor produksi energi listrik melalui pembakaran batubara.
Momentum Presidensi G-20 Indonesia
Transisi energi juga turut menjadi tiga topik utama, bersama arsitektur kesehatan global dan transformasi ekonomi berbasis digital, dalam Presidensi G-20 Indonesia 2022.Â
Ini adalah peluang Indonesia untuk menebar pengaruh, guna membawa dunia ke lajur pembangunan rendah karbon. Bagaimanapun, hampir 80% dari emisi global berasal dari negara G-20.
Namun, kekuatan pendanaan menjadi salah satu faktor kunci untuk merealisasikan transisi energi. Apalagi bagi Indonesia, kita masih begitu tergantung dengan pemakaian energi fosil seperti batubara untuk menyalakan PLTU. Huru-hara batu bara kita di awal 2022 cukup menjustifikasi argumen tersebut.Â
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pun sudah mengantongi kalkulasi total pembiayaan yang dibutuhkan. Kapasitas PLTU yang akan mengalami transisi menuju energi terbarukan sebesar 5.500 MW. Setidaknya Indonesia membutuhkan minimal USD 20 milliar atau Rp 280 triliun dalam jangka waktu 8 tahun.