Tentu, angka tersebut menjadi beban fiskal yang tidak ringan bagi Indonesia. Sehingga, dukungan negara maju maupun lembaga keuangan Internasional sangat dibutuhkan.Â
Bagaimanapun, kita hidup di atmosfer yang sama. Tidak adil rasanya bila negara maju menekan negara berkembang untuk mengurangi emisi, sementara mereka tidak melakukan apapun. Padahal, negara maju juga turut andil dalam besaran angka gas rumah kaca hingga detik ini.
Maka, momentum presidensi G-20 ini hendaknya menjadi jalan pembuka untuk memengaruhi kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dari 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia. Kesempatan ini datang setidaknya 20 tahun sekali, yang harus dioptimalkan guna merealisasikan tema besar tahun ini, "recovery stronger, recovery together."
Lantas, apa hubungannya transisi energi dengan pemulihan ekonomi? Ini adalah bagian yang menarik. Realisasi dari transisi energi diproyeksi dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru.Â
Istilah yang dikenal di khalayak internasional adalah green jobs atau pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan implementasi teknologi energi terbarukan, baik sektor pertanian, pariwisata, maupun energi itu sendiri. Diperkirakan 395 juta lapangan pekerjaan akan muncul hingga tahun 2030, dengan peredaran uang sekitar 10,1 triliun dollar AS.
Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut bahwa proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) memiliki peluang terbesar dalam menyerap tenaga kerja. Tentu, hal ini akan memberikan efek ganda, selain menciptakan lapangan kerja juga turut mengurangi beban bauran produksi listrik dari energi fosil.Â
Sebagai contoh, proyek PLTS dengan kapasitas 1000 megawatt (MW), dengan modal investasi 15 triliun rupiah (30% untuk upah), akan membutuhkan 20.000 tenaga kerja. Jika proyek ini untuk mengalirkan listrik ke 600 ribu lebih rumah, maka penghematan subsidi listrik sebesar 727 miliar rupiah per tahun dapat tercapai.
Memang, bila melihat hitung-hitungan di atas kertas, transisi energi begitu berpotensi untuk mempercepat pemulihan ekonomi dari jurang pandemi. Namun, satu hal yang perlu digarisbawahi adalah proyek tersebut melibatkan banyak pihak. Pemerintah perlu lebih berkomitmen untuk mengarusutamakan agenda pertumbuhan ekonomi hijau dengan melibatkan transisi energi bersih.Â
Seperti memangkas birokrasi yang berbelit sampai segera meratifikasi UU EBT. Tentu, dukungan politik dalam negeri, kepemimpinan yang kuat dan visi jangka panjang sangat dibutuhkan untuk merealisasikan wacana besar tersebut. Bagaimanapun, transisi energi bukanlah sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H