27 Juli kemarin, kantor Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat menyita perhatian warga dunia maya. Hal tersebut tak lepas dari pidato sambutan yang dibawakan oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, "But what happens -- what happens in Indonesia if the projections are correct that, in the next 10 years, they may have to move their capital because they're going to be underwater?"
Cuplikan tersebut berada di paragraf ke-52 dari setidaknya 74 paragraf pidato yang dirilis oleh laman resmi The White House.Â
Secara jelas, Biden menyebut prediksi tenggelamnya Ibu kota Indonesia, Jakarta di tahun 2030 kelak.Â
Beberapa pengamat geopolitik menyikapi ini sebagai pesan tersirat atas meningkatnya tensi perang pengaruh antara China dan Amerika di kawasan ASEAN.Â
Terlepas dari intrik politik antar kedua kutub negara adidaya, hendaknya pesan Biden dimaknai sebagai sebuah pesan peringatan.
Sejatinya, permodelan Jakarta tenggelam hingga Monumen Nasional yang karam oleh air laut sudah mengemuka di tahun-tahun sebelumnya.Â
Eksploitasi air tanah yang berlebihan ditambah naiknya tinggi muka air laut menjadi fakta tak terbantahkan, bahwa peristiwa mengerikan itu tidak hanya sekadar fiksi.
Robert E Kopp, et al (2014) turut melakukan proyeksi terhadap kenaikan air laut global. Hasilnya, air laut akan naik hingga 33 cm di tahun 2050. Total 199 kabupaten dan 21 Ibu kota Provinsi milik Indonesia dipastikan tenggelam dengan kerugian mencapai 1.576 triliun rupiah.
Potret "kiamat" tersebut hanya bagian kecil dari krisis multi dimensi yang membekap manusia semenjak awal abad 21. Hal tersebut dipicu oleh kenaikan suhu global yang menghadirkan anomali perubahan iklim. Tentu, biang utamanya adalah produksi polusi karbon berlebihan yang membungkus atmosfer bumi. Dan sektor energi kotor berbasis batu bara masih menjadi pengotor langit terbesar.
Untungnya, bocoran kabar mengerikan dari masa depan tersebut masih bisa kita belokkan. Pemerintah Indonesia terus mendorong upaya untuk menghambat kiamat iklim.Â