Mohon tunggu...
Moh Wahyu Syafiul Mubarok
Moh Wahyu Syafiul Mubarok Mohon Tunggu... Penulis - Part time writer, full time dreamer

No Sacrifices No Victories

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Melawan Kerentanan Sektor Pertanian

24 Agustus 2021   21:31 Diperbarui: 24 Agustus 2021   21:37 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah ribuan jam bumi serasa dibuat mati suri oleh pandemi. Tidak hanya negeri-negeri kecil, virus tak kasat mata ini juga berhasil meruntuhkan negara-negara adidaya. 

Namun, Seburuk apa pun kondisinya, beberapa pengamat menyebut hari ini adalah momen titik balik bagi bumi. Secretary of State for Business, Energy, and Industrial Strategy Inggris, Alok Sharma, dalam kolom opini Kompas (24/08) menyebut bahwa Pemulihan ekonomi ramah lingkungan adalah pilihan paling masuk akal. Jalur pembangunan rendah karbon akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi tertinggi dan paling inklusif bagi Indonesia.

Selama ini, sektor pertanian menjadi salah satu dari tiga pilar penyokong ekonomi nasional, bersama sektor energi dan sumber daya air. Apalagi, Ada dua kondisi yang mengancam stabilitas pangan nasional, yakni bencana dan buruknya tata kelola. 

Beberapa ahli dan kepala negara, termasuk Joko Widodo, berulangkali menyampaikan kekhawatiran terjadinya krisis pangan akibat pandemi COVID-19. Apalagi  tidak ada yang tahu kapan mendung pandemi akan pergi menjauh dari bumi.

Lebih jauh, Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) bersama 16 organisasi internasional juga mengingatkan adanya krisis pangan melalui laporannya yang bertajuk 2020 Global Report on Food Crisis. Pandemi membuat 35 persen mengancam sistem rantai makanan global. 

Sehingga, narasi ketahanan pangan menjadi hal yang relevan untuk menjaga keberlangsungan dunia di masa depan, dengan para petani sebagai juru selamatnya. 

Namun, kebijakan food estate yang dijadikan jawaban atas masalah tersebut malah berpotensi meminggirkan peran petani. Alih-alih membuka lapangan kerja, justru memicu penambahan beban emisi di tengah pandemi.

Mengawal Kebijakan Food Estate

Pemerintah melirik lumbung pangan sebagai solusi untuk meningkatkan produksi padi nasional. Sebenarnya, cita-cita tersebut telah muncul di di tahun-tahun terakhir pemerintahan Soeharto, yakni pengembangan lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah. 

Proyek tersebut diketuai oleh Menko Ekuin melalui Keppres No. 82/1995 yang melibatkan sepuluh kementerian. Target pengembangan lahan gambut ini untuk memproduksi 2 juta ton beras per tahun.

Namun proyek tersebut tidak mengindahkan prinsip-prinsip ilmiah. Sebanyak 56 juta meter kubik kayu lenyap, menguntungkan segelintir orang dan lingkungan rusak. 

Proyek dengan biaya awal 3 triliun tersebut gagal dan pemerintah harus menambah 3 triliun lagi untuk rehabilitasi lingkungan. Saat ini, lokasi tersebut menjadi sumber bencana kabut asap di setiap musim kemarau.

Guna melaksanakan kebijakan food estate, perlu adanya perhatian serius. Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University dan Ketua Umum (AB2TI) Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia), Dwi Andreas Santosa, menyebut bahwa ada empat pilar dalam pengembangan lahan pangan utamanya padi. Bila pilar tersebut dipenuhi, maka dapat mendekatkan Indonesia pada agenda pembangunan rendah karbon dengan minim kerusakan lingkungan.

Pilar pertama adalah kelayakan tanah dan agroklimat. Tidak ada satu pun tanaman pangan yang bisa berproduksi jika tanah dan/atau agroklimat tidak cocok untuk tanaman tersebut. 

Pilar kedua, kelayakan infrastruktur, baik infrastruktur irigasi maupun infrastruktur transportasi untuk pergerakan input dan output ke/dari lahan usaha tani. 

Pilar ketiga, kelayakan budidaya dan teknologi, dan pilar keempat adalah kelayakan sosial dan ekonomi. 

Perubahan paradigma dan konsep juga perlu dilakukan dengan mengubah pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan menempatkan petani kecil di puncak teratas arus besar pembangunan pertanian. Tidak hanya negara yang digdaya, para petani rakyat juga sejahtera walau diterpa badai pandemi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun