Namun proyek tersebut tidak mengindahkan prinsip-prinsip ilmiah. Sebanyak 56 juta meter kubik kayu lenyap, menguntungkan segelintir orang dan lingkungan rusak.Â
Proyek dengan biaya awal 3 triliun tersebut gagal dan pemerintah harus menambah 3 triliun lagi untuk rehabilitasi lingkungan. Saat ini, lokasi tersebut menjadi sumber bencana kabut asap di setiap musim kemarau.
Guna melaksanakan kebijakan food estate, perlu adanya perhatian serius. Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University dan Ketua Umum (AB2TI) Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia), Dwi Andreas Santosa, menyebut bahwa ada empat pilar dalam pengembangan lahan pangan utamanya padi. Bila pilar tersebut dipenuhi, maka dapat mendekatkan Indonesia pada agenda pembangunan rendah karbon dengan minim kerusakan lingkungan.
Pilar pertama adalah kelayakan tanah dan agroklimat. Tidak ada satu pun tanaman pangan yang bisa berproduksi jika tanah dan/atau agroklimat tidak cocok untuk tanaman tersebut.Â
Pilar kedua, kelayakan infrastruktur, baik infrastruktur irigasi maupun infrastruktur transportasi untuk pergerakan input dan output ke/dari lahan usaha tani.Â
Pilar ketiga, kelayakan budidaya dan teknologi, dan pilar keempat adalah kelayakan sosial dan ekonomi.Â
Perubahan paradigma dan konsep juga perlu dilakukan dengan mengubah pendekatan ketahanan pangan ke kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan menempatkan petani kecil di puncak teratas arus besar pembangunan pertanian. Tidak hanya negara yang digdaya, para petani rakyat juga sejahtera walau diterpa badai pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H