Perubahan iklim kini telah mengambil alih perhatian dunia. Isu yang identik dengan kiamat tersebut pertama kali muncul di tahun 1985. Amerika Serikat gempar ketika beredar pemberitaan bahwa ditemukan lubang pada lapisan ozon di Antartika pada 1985.Â
Beberapa riset ilmuwan mengenai pemanasan global yang sebelumnya hanya menjadi tumpukan kertas, mulai diulas.Â
Menurut seorang anggota Satgas Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan, Bernard Steni, isu perubahan iklim memanas setelah terjadi kebakaran hutan skala luas di Taman Nasional Yellowstone, AS. Sungai Missisipi mengering dan bulan Juni dinobatkan sebagai waktu terpanas di Washington.
Di awal 1990, isu pemanasan global pun menggema di berbagai belahan dunia. Di tengah tekanan publik pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk perjanjian untuk menangani perubahan iklim.Â
Maka dibentuklah The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC) sebagai wadah tunggal proses negosiasi antar pemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB. Ini merupakan upaya dari segi kebijakan untuk melawan krisis iklim.
Namun, usaha untuk memperbaiki bumi terus menuai hambatan. Mulai dari kondisi lingkungan yang memburuk, produksi gas rumah kaca yang terus meningkat, hingga terjadinya beberapa bencana alam sebagai efek samping krisis iklim.Â
Selain itu, faktor penyebab lain yang tidak kalah penting adalah penurunan ekosistem alami untuk menyerap, mengikat, dan menyimpan karbon melalui proses fotosintesis yang disebut sebagai karbon hijau.Â
Di samping itu, kita juga memiliki potensi blue carbon. Ekosistem mangrove, rawa payau, dan padang lamun yang mudah menyerap emisi karbon.
Secara teoritis, akumulasi karbon yang diserap ekosistem pantai dan laut yang mencakup lebih dari 55 persen karbon hijau sedunia. Saat ini, ekosistem pesisir menyimpan karbon dengan laju setara dengan 25 persen.Â
Tentu hal ini memberikan peluang tersendiri bagi Indonesia selaku pemilik mega biodiversity terbesar. Tercatat kawasan coral triangle mencakup 52 persen ekosistem terumbu karang dunia, 3,14 juta hektar atau 23 persen dari ekosistem mangrove dunia ada di Indonesia, dan 3,30 juta hektar padang lamun terluas di dunia dimiliki Indonesia.Â