Apabila dioptimalkan dengan baik, Indonesia memiliki peluang untuk memimpin capaian target NDC (Nationally Determined Contributions). Salah satu parameter penanganan negara untuk penanganan krisis iklim.
Walaupun memberikan banyak keuntungan, ekosistem karbon biru yang paling terancam di  Bumi. Sekitar 980.000 hektar ekosistem ini dihancurkan setap tahunnya. Diperkirakan  sampai dengan 67% dari  seluruh cakupan global mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun telah hilang. Jika hal ini berlanjut, maka 40% ekosisem karbon biru akan hilang dalam kurun waktu 100 tahun ke depan.Â
Bila dibiarkan terdegradasi, ekosistem  ini  akan  menjadi sumber emisi gas rumah kaca karbondioksida yang besar.Â
Tingkat kehilangan ekosistem pesisir yang ada saat ini dapat  menyebabkan 0,15-1,02 miliar ton CO2 dilepaskan  setap  tahunnya. Tentu ini menjadi mimpi buruk bagi penanganan krisis iklim global. Fakta tersebut diperkuat dengan grafik pada gambar 1.
Gambar 2 menunjukkan kuantitas serapan ekosistem karbon biru yang lebih banyak dibandingkan dengan  penyerapan  dari  hutan  daratan. Seluruh emisi karbon tersebut tersimpan di bawah tanah hingga 99%.Â
Tanah yang kaya karbon ini dapat mencapai hingga enam meter di bawah tanah, membuatnya dapat bertahan untuk waktu yang sangat lama (hingga ribuan tahun). Kita bisa melihat bagaimana potensi besar dari ekosistem karbon biru di gambar 3.
Melihat beragam potensi tersebut, sudah sepatutnya kita optimalkan untuk menghambat kiamat iklim terjadi.Â
Guna menjaga keberlanjutan dari ekosistem karbon biru, langkah pertama yang bisa kita lakukan adalah menyelamatkan ekosistem mangrove pesisir. Bagaimanapun, Nelleman (2009) menyebut bahwa bentang  mangrove  memiliki  arti  penting  bagi  iklim  global.