Makna implisit yang bisa ditangkap adalah, di tengah pandemi seperti sekarang, tidak penting menyentuh secara fisik orang yang kita kasihi. Sebaliknya, belas kasih dan bela rasa harus kita tunjukkan dengan menciptakan jarak fisik.Â
Jarak fisik bukan diartikan sebagai jarak sosial, sebab pandemi ini hanya dapat dihadapi dengan antibodi sosial, yakni keadilan, kasih, dan solidaritas.
Pandemi Covid-19 adalah contoh nyata bagaimana egalitarianisme radikal bekerja. Pandemi ini menghantam siapa saja tanpa pandang perbedaan status sosial, ekonomi, ras, agama, dan warna kulit.Â
Bahkan, inflasi kesalehan dengan mengabaikan panduan akal sehat dalam menghadapi pandemi corona tak mustahil berujung pada tragedi kematian.Â
Bila selama ini egalitarianisme sering menjadi jargon kosong, pandemi Covid-19 memberikan bukti serius bahwa manusia sungguh setara di hadapan kerentanan sebagai korban. Egalitarianisme kerentanan harus menjadi titik tolak kerja sama global.
Peta politik global menampilkan satu contoh menarik. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, di luar dugaan, menawarkan bantuan dan kerja sama kepada Palestina.Â
Tawaran bantuan tersebut bukan atas dasar pertimbangan kemanusiaan atau kedermawanan, melainkan semata pertimbangan pragmatis, rakyat Israel dan Palestina sama-sama rentan terinfeksi virus corona (Zizek, 2020).
Kita patut berbangga, negara kita memiliki kontribusi yang nyata dalam menenun jejaring kolaborasi global untuk melawan pandemi. Pasalnya, Indonesia bersama Ghana, Liechtenstein, Norwegia, Singapura, dan Swiss berhasil meloloskan resolusi Majelis Umum PBB yang berjudul Global Solidarity to Fight COVID-19.Â
Resolusi ini adalah produk pertama yang dihasilkan oleh PBB terkait COVID-19 sejak diumumkannya status pandemi global oleh WHO pada tanggal 11 maret 2020.Â
Secara garis besar, resolusi ini menekankan pesan politis tentang pentingnya persatuan, solidaritas, dan kerja sama internasional dalam upaya mitigasi pandemi global COVID-19.
Namun, kita patut menerjemahkan pesan-pesan politis tersebut tidak hanya sebatas pertimbangan strategis-pragmatis semata, melainkan berubah menjadi solidaritas global. Pandemi adalah momen memperteguh solidaritas global itu.Â