Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/Hum/2018[i], ketentuan Pasal 3 ayat (2), (3) dan (4) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 (PP 94/2012) yang mengatur bahwa besaran gaji hakim sama dengan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) dinyatakan bertentangan dengan beberapa Undang-Undang seperti Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) sehingga ketentuan tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan putusan yang demikian maka sejak dijatuhkannya putusan tersebut yaitu 10 Desember 2018 sampai saat ini tidak ada dasar hukum bagi pembayaran gaji pokok hakim. Pembayaran gaji hakim sejak bulan Januari 2019 sampai sekarang hanya disandarkan pada status quo yang lahir dari ketentuan pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil, dimana pemerintah masih punya waktu 90 hari sejak putusan itu diterima untuk menjalankan kewajibannya dan ketentuan yang dibatalkan baru tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila jangka waktu itu terlewati.Â
Pasca putusan itu dijatuhkan sampai saat ini, pemerintah belum juga menerbitkan kebijakan baru terkait dengan gaji hakim. Setali tiga uang dengan sikap pemerintah, ternyata Komisi Yudisial (KY) juga sama sekali belum bergerak atau paling tidak bersuara terhadap kondisi ini. lebih dari 4 (empat) bulan sejak putusan diatas dijatuhkan sudah cukup untuk para hakim menyimpulkan jika KY abai terhadap isu ini. Padahal merujuk pada Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang tentang Komisi Yudisial, KY memiliki tugas untuk mengupayakan peningkatan kesejahteraan hakim. Tugas ini bukanlah suatu tugas main-main yang diamanatkan Undang-Undang kepada KY karena hal itu merupakan turunan dari wewenang lain yang diamanatkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 kepada KY dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim.
Sikap diam KY ini seolah menunjukan perbedaan kontras para komisioner KY periode saat ini dengan para komisioner KY periode sebelumnya terkait isu kesejahteraan hakim. Ketika isu ancaman hakim mogok sidang yang dipicu karena disalipnya besaran gaji hakim oleh gaji PNS pada tahun 2012 mencuat ke ruang publik, KY periode itu dengan sigap bersama Mahkamah Agung mengawal isu tersebut sehingga mendorong pemerintah melahirkan PP 94/2012 tentang Hak Keuangan Dan Fasilitas Hakim Yang Berada Dibawah Mahkamah Agung[ii]. Terlepas dari segala kelemahan didalamnya termasuk yang akhirnya diajukan permohonan uji materi oleh beberapa hakim sehingga mendorong lahirnya Putusan MA No. 23 P/HUM/2018 tersebut diatas, PP 94/2012 adalah kebijakan yang cukup signifikan dalam menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuruan martabat para hakim. Â
Sepertinya para komisioner KY periode saat ini tidak melihat ketiadaan dasar hukum mengenai gaji hakim ada hubungannya dengan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Dalam sebuah negara hukum, tentu sesuatu yang sangat memprihatinkan jika untuk sekedar penggajian bagi pejabatnya saja ternyata dilakukan tanpa sebuah dasar hukum yang sah. Apalagi hal ini terjadi pada hakim yang merupakan jabatan yang oleh konstitusi diberi tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa hal ini merupakan suatu perendahan nyata terhadap kehormatan dan keluhuran martabat hakim.Â
Sikap diam KY ini tentu merupakan suatu ironi jika dihubungkan dengan perjuangan mati-matian KY dalam pembahasan RUU Jabatan Hakim untuk memperoleh pembagian kewenangan manajemen hakim. Sangat patut dipertanyakan, jika untuk ketiadaan dasar hukum gaji hakim saja KY diam, bagaimana jika KY diberikan pembagian tanggung jawab yang lebih besar untuk menangani urusan manajemen hakim[iii]. Sulit untuk mempercayai pihak yang begitu bernafsu memperoleh tanggung jawab tambahan tetapi dia sendiri ternyata abai terhadap tanggung jawab yang sudah ada dan jelas-jelas diamanatkan oleh Undang-Undang bahkan konstitusi kepadanya. Tentu para hakim enggan jika nasibnya harus diurus oleh Lembaga yang jelas tidak perduli dengan nasib mereka.
Jika melihat ke belakang, sejak dilantiknya para komisioner KY periode 2015-2020, bukan hanya berlaku tidak produktif terhadap isu terkait hakim, malah pernah juga berlaku kontraproduktif dengan mengangkat ide untuk mengembalikan status hakim dari pejabat negara menjadi PNS. Â Hal itu dikemukakan paling tidak dalam 2 (dua) kesempatan yaitu dalam kuliah umum bertajuk "Urgensi Keterlibatan Komisi Yudisial dalam RUU Jabatan Hakim", di Aula Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, Kamis (2/3/2017) dan dalam seminar sehari RUU Jabatan Hakim dengan tema "Peningkatan Kualitas Peradilan Melalui Penguatan Profesionalitas Hakim", Rabu (30/11/2016), di Ruang Rapat KK I Gedung Nusantara DPR/MPR RI, Jakarta[iv].Â
Ide ini seolah menunjukan ketidakpahaman komisioner KY terhadap kedudukan para hakim dalam optik konstitusi. Berbeda dengan komisioner KY yang merupakan pejabat negara 'artifisial', yang artinya mendapat kedudukan pejabat negara hanya karena diberikan oleh Undang-Undang, hakim adalah pejabat negara 'alamiah' baik secara de fakto maupu de jure. Selain karena beberapa Undang-Undang seperti Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara mengatur hakim sebagai pejabat negara, secara de fakto, apapun statusnya, hakim yang sedang melakukan tugasnya mengadili perkara adalah seorang pejabat yang menjadi personifikasi negara dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman. Kekuasaaan Kehakiman sendiri adalah suatu kekuasaan yang diamanatkan konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna tegaknya hukum dan keadilan. Dalam konsep negara hukum modern, tugas menyelenggarakan kekuasaan kehakiman tidak bisa diemban kecuali oleh para hakim dan tidak dapat didelegasikan kepada jabatan apapun. Mengusulkan status hakim kembali menjadi PNS, oleh sebab itu, adalah bentuk pengkhianatan para komisioner KY terhadap tugasnya untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Selain itu usulan inipun akan berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antara KY dengan KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara). Jika hakim dikembalikan statusnya menjadi PNS, maka yang paling berhak mengawasi hakim adalah KASN, bukan KY.
Patut dipersoalkan oleh karena itu apakah sikap diamnya KY saat ini terhadap isu ketiadaan dasar hukum bagi gaji hakim ada kaitannya dengan sikap komisionernya yang menginginkan status hakim kembali jadi PNS. Dalam putusan 23 P/HUM/2018 kembali ditegaskan bahwa hakim adalah pejabat negara sehingga tidak dapat dipersamakan dengan PNS dalam hal penggajian. Pantas ditanyakan kepada para komisioner KY apakah mereka diam karena kecewa terhadap putusan tersebut.
 Selain itu, sikap diam KY semakin patut untuk dipertanyakan apabila dikaitkan dengan adanya isu akuntabilitas yang beberapa waktu menerpa beberapa komisioner KY. Isu tersebut pertama kali diangkat oleh kalangan internal KY sendiri yang menamakan diri sebagai 'Forum Kantin KY' yang akhirnya mendorong beberapa anggota DPR dan Koalisi Masyarat Sipil Untuk Reformasi Peradilan bersuara lantang menyerukan pembentukan majelis etik untuk memeriksa beberapa komisioner KY yang diduga terlibat pelanggaran etika[v]. Muncul persoalan kembali, Apakah sikap diam KY terhadap isu gaji hakim menunjukan bahwa para komisioner KY malah sibuk dengan masalah diri mereka sendiri? Jika ternyata itu benar, maka itu adalah kenyataan yang memilukan. Lembaga yang diamanahi oleh konstitusi untuk menjaga menjaga dan menegakkan kehormatan serta keluhuruan martabat para hakim, ternyata diisi dengan orang-orang yang malah sibuk dengan masalah diri mereka sendiri.   Â
  Â
[i] putusan.mahkamahagung.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H