Mohon tunggu...
Wahyu Noliim Lestari Siregar
Wahyu Noliim Lestari Siregar Mohon Tunggu... MAHASISWA -

Jangan Takut Bermimpi, dan Lukiskanlah itu dalam Kanvas Dunia mu yang Nyata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekuasaan Dalam Pluralis Agama Menurut Paul Tillich

19 November 2016   22:21 Diperbarui: 19 November 2016   22:58 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Kondisi masyarakat Indonesia dalam dunia yang nyata nampak dalam keanekaragamannya. Indonesia bukan hanya sebuah negara dengan ribuan pulau, aneka suku serta tradisi kultural yang dimilikinya, tetapi juga sebuah negara yang di dalamnya hadir dan hidup agama-agama (pluralitas). Pluralitas agama yang kemudian menjadi salah satu ciri dari Indonesia menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia setiap saat bertemu dan bergaul dengan anggota masyarakat yang     berbeda-beda keyakinan agamanya. Dalam masyarakat pluralis ini tidak jarang pula terjadi perdebatan, ketegangan dan konflik.

Akibat dari ketegangan yang mencolok khususnya dalam hal berdialog tentang dogma dari masing-masing agama tersebut. Masing-masing mempertahankan kebenaran agamanya masing-masing sehingga hubungan yang baik antara pemeluk agama kurang terjalin. Demikian juga agama Kristen yang mempertahankan kebenaran agamanya dengan mengatakan bahwa hanya dalam Tuhan sajalah kita mendapat keselamatan. Dari sekian banyak misi yang terkandung dalam agama Kristen, maka sebagai intinya adalah “amanat Agung” (Mat 28: 18-20, bnd Mark 16:15; Kis 1:8). 

Setiap orang Kristen haruslah mempertahankan imannya dan ikut serta dalam penyebaran Firman Tuhan ke seluruh dunia yang belum mengenal Kristus. Pembertiataan firman bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang bekerja dalam gereja, namun setiap orang yang terpanggil di dalamnya untuk keluar membertiakan Injil Tuhan Yesus dalam setiap waktu dan tempat, bahkan di      tangah-tengah masyarakat majemuk sekalipun sebagaimana halnya Indonesia. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimanakah sikap orang Kristen di         tengah-tengah masyarakat pluralis yang penuh dengan tantangan dan pergumulan?

Tinjauan Historis

Paul Tillich dan Sejarah Hidupnya

Paul Tillich lahir pada tahun 1886 di provinsi Brandenburg - Jerman sebagai putra seorang pendeta Lutheran. Ia belajar teologi di Univeritas Berlin, Tubingen, Halle dan Breslau. Selama perang dunia pertama ia masuk tentara sebagai pendeta tentara. Dan pada tahun 1919 ia mengajar teologi dan filsafat di Universitas Berlin, Marburg, Dresden, Leipzig dan Frankfurt. Namun, pada tahun 1933 ia dipecat oleh kaum Nazi karena keterlibatannya dengan gerakan sosialis. Ia pergi ke Amerika Serikat dan menjadi profesor Filsafat Teologi di Union Theological Seminary di New York sampai ia pensiun pada tahun 1955. Kemudian ia mengajar di Harvard dan Chicago University sampai ia meninggal pada tahun 1965. Karya Paul Tillich yang terbesar ialah Sistematic Theology sebanyak tiga jilid (1951-1963).[1]

Paul Tillich banyak dipengaruhi oleh filsafat dan teologi. Dari segi filsafat, ia sangat dipengaruhi oleh filsafat idealisme Jerman, sedangkan dari segi teologi ia dipengaruhi oleh Schleiermacher dan Luther. Meskipun demikian Tillich menempuh jalan sendiri. Ia berusaha mencari jawaban-jawaban terhadap pertanyaan masa kini. Ia mengeluhkan bahwa gereja sangat jauh dengan dunia modern. Tillich terkenal dengan Apologetis dan metode korelasinya. Menurut Tillich teologi bergerak antara dua kutub, yaitu kebenaran yang kekal dan situasi waktu pada masa kebenaran yang benar itu diterima. Ia juga berpendapat bahwa teologi Ortodoks mempunyai kelemahan yakni mengenakan kebenaran kekal pada masa sekarang tanpa mempertimbangkan situasi baru.

Latarbelakang Pemikiran

Selama hidupnya, Tillich menyaksikan peperangan dunia, depresi ekonomi yang parah, kekalahan polotis dan bencana-bencana yang luar biasa. Selama perang dunia dia melayani sebagai pendeta tentara Jerman dan mengalami munculnya Nazisme dan Fasisme menyebabkan ia pindah ke USA. Suasana ini menimbulkan perasaan kegelisaan yang luar biasa dan ketakutan akan kematian dalam situasi umat manusia yang mungkin mempengaruhinya menjadi seorang eksistensialis, karena demikian ia menerima kategori-kategori psikologis sebagai dasar bukan hanya memahami eksistensi manusia tetapi juga untuk memahami realitas secara keseluruhan.

Tillich mengutamakan sekali pada hal-hal yang beraneka ragam. Ia bermaksud ingin menemukan kembali kebenaran Injil dan meneruskannya di tengah-tengah situasi yang terus menerus berubah.[2] Suasana lain yang sedang berkembang ini adalah kekuatan-kekuatan non-spiritual seperti situasi ekonomi, dunia politik dan teknologi, dan memberlakukan gagasan. Suasana ini menimbulkan krisis agama di Jerman. Krisis agama dan keputusannya menimbulkan suara untuk kembali ke agama yang pandangan Tillich merupakan sesuatu tidak menyenangkan karena kembali kepada spritualitas yang pura-pura. Ia juga memberi komentar bahwa cara itu adalah mencobai Allah jika usaha dibuat untuk kepentingan sesuatu yang lain dari kepentingan Allah. Peringatan Tillich melawan gerakan kembali keagama didasarkan oleh penolakannya terhadap gagasan. Dalam gagasan Tillich biasanya melihat kehidupan dalam jangkauan yang luas dan dari berbagai variasi kehidupan dan keagamaan, dan dipindahkan kepemikiran teologia dan kembali ke dalam bidang kehidupan secara khusus. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun