Mohon tunggu...
Wahyu Setyo Budhi
Wahyu Setyo Budhi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

a chemist, an activist, adventurer

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhanku, Tuhan Anda Juga?

7 Januari 2012   02:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:13 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini, sebenarnya, sudah ada dalam alam niat sebagai timbunan pemikiran sejak lama, namun, baru kali ini, sepertinya niatan itu akan menjadi kenyataan, untuk dituangkan dalam bentuk tulisan.

Well,

Pernahkah Anda berpikir bahwa Tuhan itu maha kuasa?
Pernahkah terbersit sedikit saja dipikiran Anda, bahwa Tuhan telah merencanakan segala apa yang terjadi di dunia ini, tanpa cacat?
Pernahkah Anda berpikir bahwa segala apa yang telah Tuhan berikan dan ciptakan itu, tidak ada yang sia-sia?
Everything happens for a reason, apakah itu pula yang ada di benak Anda?

Saya adalah seorang Muslim, terlahir dari keluarga Muslim, namun, ketika saya berusia 5 tahun, saya disekolahkan di TK (Taman Kanak-Kanak) Katholik, tepatnya di TK Mardiyuana, sebuah yayasan Katholik, yang dulu ketika saya masih bersekolah disana, masuk dalam daerah administratif, Kabupaten Serang, Provinsi Jawa Barat. Alasan mengapa saya tidak disekolahkan di yayasan Islam, sebenarnya sederhana, Jarak. Ya, TK Mardiyuana berada persis dibelakang rumah, dan karena waktu itu, kedua orang tua saya bekerja, jadi mereka agak kerepotan mencari TK Islam, dan memang pada kenyataannya, TK islam belum ada didaerah saya pada saat itu, jadilah akhirnya saya disekolahkan di yayasan Katholik.

Sejak usia 5 tahun, saya telah diajarkan nilai-nilai bertoleransi terhadap umat beragama (setidaknya, itu yang diucapkan Ibu Yatmi wali kelas saya dulu), sejak usia 5 tahun, saya telah “dicekoki” tentang pentingnya menghargai, saling tenggang rasa, cinta kasih terhadap sesama manusia, dan nilai-nilai pluralisme, tentunya dengan “porsi” anak TK. Dari situlah awal mula ketika untuk pertama kalinya, saya bertemu dengan teman-teman yang berbeda keyakinan, lugasnya mempercayai Agama yang berbeda, namun intinya satu, kasih sayang terhadap sesama manusia, dan menghargai mereka yang berbeda keyakinan, seperti menghargai diri Anda sendiri. Saya ingat ketika pelajaran Agama Katholik, kami yang non-Katholik, dipersilakan untuk meninggalkan kelas, untuk sekedar bermain plastisin, bermain ayunan, atau belajar bernyanyi, dan setelahnya, baru kami diizinkan untuk kembali ke kelas, mengikuti pelajaran seperti biasanya. Setelah pelajaran Agama Katholik berakhir, biasanya, saya dan teman-teman yang lain, mengobrol bersama (sambil bercanda tentunya), tentang apa saja yang mereka pelajari, tidak hanya mengobrol tentang Katholik saja, namun juga dengan siswa yang beragama lain, dari situ saya mendapat pengetahuan baru, yang tidak saya dapatkan dirumah, tentang siapa nama Tuhan mereka, siapa itu Yesus, kenapa Yesus disalib, apa itu Natal, siapa itu Maria, Buddha itu siapa, Kalau Nyepi itu ngapain aja, dan berbagai macam pertanyaan yang mungkin bagi orang dewasa, pertanyaan itu terlalu berat, dan membutuhkan diskusi filosofis yang mendalam, tapi, ya namanya juga anak-anak, diskusi yang kami lakukan hanya sebatas bertanya, kemudian pergi bermain bersama, untuk kemudian (mungkin) lupa terhadap apa saja yang ditanyakan tadi. Kehidupan toleransi spiritual saya, telah saya mulai dari usia 5 tahun, belajar untuk menerima perbedaan, meskipun itu merupakan perbedaan yang paling fundamental (begitu kata orang dewasa). Saya  tidak pernah merasa termarjinalkan sebagai seorang Muslim yang berada dilingkungan Katholik, saya tidak pernah merasakan Agama, sebagai suatu batas tak terlihat, yang memisahkan Muslim, Kristen, Katholik, Buddha, dan Hindu, kami hidup bersama, berdampingan, damai.

Ketika anak-anak lain mungkin belajar membaca Al-Qur’an, mempelajari ilmu Tajwid dasar, mendengarkan kisah Nabi dan Rasul, menghafalkan surat-surat pendek, mempelajari cara berwudhu, bacaan shalat, sampai mengamalkan rukun Islam dan rukun iman, tidak begitu halnya yang terjadi dengan saya.  Saya memang tidak mendapatkan pelajaran membaca Al-Qur’an, hafalan surat pendek, atau pelajaran-pelajaran lain “khas” TK Islam, dari TK saya, namun paling tidak, saya bisa bersyukur, karena saya mendapatkan KEDUANYA. Ya! Saya mendapatkan pelajaran tentang Agama Islam di rumah, dan mendapatkan pelajaran tentang toleransi antar umat beragama di sekolah, dan kelebihannya, saya mendapatkan pelajaran toleransi tersebut, secara real, tidak hanya teori yang diajarkan di pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan) di Sekolah Dasar.

Seperti yang saya pernah tulis kawan, hidup ini kan cuma soal pilihan dan memilih, selalu ada opportunity cost disetiap pilihan yang kita ambil, ketika kedua orang tua saya memutuskan untuk menyekolahkan saya ke Yayasan Katholik, maka ada konsekuensi logis dari itu semua, yaitu, saya tidak mendapakan pelajaran Agama Islam di sekolah, sehingga orang tua saya, harus bekerja eksta untuk mengajari saya mengaji, shalat, dan sebagainya dirumah, tapi sebagai balasannya, saya mendapatkan pelajaran hidup yang saya bawa sampai sekarang, menghargai sesama manusia, belajar hidup berdampingan, menolong sesama, terlepas dari latar belakang Agama mereka.

Beranjak dewasa, diusia saya yang keduapuluh ini, saya merasakan bahwa bekal yang saya dapatkan diusia saya yang kelima tahun itu, sangat bermanfaat untuk “arah” dimana pijakan kaki saya saat ini harus ditempatkan. Saya heran ketika banyak orang disekeliling saya, kemudian memanfaatkan Agama mereka masing-masing, untuk kepentingan mereka sendiri, menganggap bahwa ajaran Agama mereka adalah yang paling benar, paling direstui, paling sempurna, dan menganggap bahwa Agama lain adalah tidak benar, hanya karena berbeda nama Tuhan, dan ajaran yang dibawa. Sungguh menyedihkan ketika melihat orang-orang itu, harus bekerja mencari pembenaran terhadapa apa yang mereka yakini. Saya yakin, bahwa kebenaran itu, bukan hanya hasil dari pencarian semata, kebenaran itu datangnya dari Tuhan, tidak perlu dicari, karena akan datang hari, dimana suatu hari, kita, Anda – dan saya, akan mengetahui itu semua secara gamblang, dan diberikan secara gratis oleh Tuhan. Berapa banyak orang di dunia ini, yang sibuk mencari pembenaran, dengan mencari orang lain, merekrut orang lain, agar apa yang diyakininya benar, bukan mencari pembenaran kepada hukum Tuhan, namun mereka terlalu sibuk untuk mencari orang lain, agar orang lain tersebut, mengatakan YA!.

Ada kepantasan bagi segala sesuatu, setidaknya itu yang dikatakan Mario Teguh, akan ada kepantasan bagi Anda, untuk mengetahui apa saja yang belum Anda ketahui, saya percaya bahwa usaha pasti menghasilkan, dan usaha untuk mencari pembenaran atas ajaran Agama, tidak perlu kan harus dengan cara yang “radikal” dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sertifikasi “Pembenaran Mutlak” dari Tuhan.

Adalah Ogi Wicaksana, Seorang Mahasiswa Sekolah Vokasi, Program Studi Public Relations Universitas Indonesia,2010, entah apa yang direncanakan Tuhan ketika itu, sehingga kami pada akhirnya berdiskusi tentang sebuah “keyakinan.” Banyak hal yang diungkapkan Ogi ketika itu, bahkan kami sempat pula menyinggung masalah kehidupan kampus kami yang (bagi saya dan Ogi) “menyedihkan”.

“...Lo mikir gak sih Yu, kalo emang semua Agama itu ngerasa bener, terus mau apa?, kan lo tau sendiri kalo Tuhan itu ngajarin cinta kasih, dan gue yakin, di semua Agama, kita dajarin buat kasih sayang sesama manusia kan?, terus kalo semua Agama nganggep itu bener, terus gak ada dong cinta kasih di dunia ini, orang-orang pasti pada ribut buat maksain kalo Agamanya itu paling bener, yang ada perang doang...”

Itu sedikit pelajaran yang saya ambil dari “Aktivis muda Jakarta” yang satu ini, terkadang pemikirannya agak nyeleneh tapi kalo dipikir lebih panjang, masuk akal sih, dan saya menyerah pada akhirnya. Terkadang saya berpikir, apakah ada korelasi antara budaya dengan pola pikir? Kenapa teman-teman saya, yang berkuliah di UI, UNPAD, ITB, dan daerah sekitar Ibu kota itu, memiliki pola pikir yang jauh berbeda dengan orang-orang yang saya temui disini, mereka lebih terbuka, fleksibel, out-of-the-box. tidak bermaksud mendikotomikan antara daerah “barat” dan “timur” , atau bahkan mungkin Anda berpikir bahwa saya “over-generalizing” tapi, memang itu lah yang saya temui dilapangan. Fakta berbicara, dan data yang menunjukkan keberpihakan, sekali lagi, ini pemikiran saya pribadi. Rumput tetangga jauh lebih hijau?

Perbedaan itu indah, kalimat yang mungkin sudah idak asing lagi terdengar, namun implementasinya, apakah Anda sendiri sudah melaksanakan makna tersirat dari 3 kata itu?, seringkali orang berbicara, namun lidah dan hati tidak sejalan, kalau memang menganggap bahwa perbedaan itu indah, kenapa harus ada “penyamarataan”, “penggolongan”, “pengelompokkan.” Berapa banyak orang di negeri ini yang sulit sekali menerima perbedaan, dan mengabaikan pelajaran Kewarganegaraan yang mereka dapatkan ketika masih duduk di bangku sekolah dasar dulu, berapa banyak orang di negeri ini yang tahu arti dari tulisan yang ada di cengkraman kaki burung Garuda, lambang negara Indonesia, dan berapa banyak orang di negeri ini yang mengerti bahwa dasar negara Indonesia bukanlah suatu Agama tertentu.

"Just because you desperately are so much attached to your religion's teaching, and your religion totally prohibits you from wishing Christmas greetings, still doesn't justify you to GLOBALLY FLAME on facebook or twitter saying that those who celebrate Christmas are sinners or likewise, especially knowing that your facebook friends and twitter followers consist of various believers.
If you think it's important to notify your religion-mates about such religion's rule, please do it personally via text, or Personal Message.
Please have a little respect, not for those who celebrate Christmas, but for yourself.. "

(Apendicaesar, 2011)

Ada fenomena menarik yang saya temui ketika suasana Natal kemarin, salah satu teman saya, Liswindio Apendicaesar, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, membuat statement seperti itu, di akun Facebook beliau, seakan meneguhkan dan memberikan sebuah justifikasi bahwa masih banyak warga negara Indonesia yang menganggap bahwa “Bhinneka Tunggal Ika” hanya sebuah tulisan pemanis dari kain putih di cengkraman kaki Garuda, tanpa makna sedikitpun. Toleransi, tenggang rasa, saling mengahargai, sepertinya hanya dijadikan sebuah pelajaran pemenuhan kurikulum, realisasinya, dan sekaligus yang menjadi pertanyaan besar saya selanjutnya, sudahkah kita sama-sama menghargai perbedaan?, kalau pelajaran tentang toleransi yang disampaikan pada jam pelajaran Kewarganegaraan saja, yang kurikulum dan silabus nya diatur oleh negara,  sulit diimplementasikan, dan cenderung diabaikan, bagaimana dengan ajaran Agama, yang salah satu ajarannya juga kita semua diperintahkan untuk saling mengasihi, bertoleransi, ajaran Agama diatur kurikulum dan silabusnya oleh Tuhan secara langsung, kalau Anda tidak bertoleransi, berarti Anda?

Ditulisan ini, saya juga mendapatkan “sumbangan” inspirasi dari sahabat saya, Safrin La Batu, Mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin, Makassar, yang pada awal tahun 2011 lalu, mendapatkan kesempatan berangkat ke Amerika Serikat, untuk mengikuti program SUSI (Study of U.S. Institute) tentang Religious Pluralism. Inspirasi yang datang dari beliau lagi-lagi saya dapat melalui Facebook

“Sebagai resolusi tahun 2012, sy ingin berdiskusi (dialog) dgn ateis dan yahudi mengenai segala hal ditemani segelas kopi d negeri antah berantah,...asiiik :d”

Kemudian, salah satu temannya memberikan komentar:

saya takut kalo ilmu agama sya sja belum cukup tuk memberi penjelasan pada diri saya.”

Dan, ini balasan Safrin:

“Sy jg takut klw terus2an berpikir 'self-centered' sy bs terus2an prejudice dan menganggap interaksi dgn mereka adalah 'dosa' abadi.”

Sebuah kalimat yang cukup menarik bagi saya pribadi. Berapa banyak orang di negeri ini, yang selalu merasa ketakutan untuk sekedar berdiskusi dengan orang-orang cross-culture, cross-beliefs, Atheis, Agnostik, ketika ditanya alasan mereka mengapa mereka menghindar, jawaban klasiknya karena ilmu Agama mereka yang belum cukup. Hell Yeah!! Mengapa dunia ini penuh dengan orang-orang yang begitu sibuk merasa nyaman hidup pada sebuah ketakutan yang tidak beralasan, seperti apa yang Safrin katakan “dosa” abadi, dosa yang mendarah daging, yang timbul dari sebuah stigma yang tidak masuk akal, misalnya saja, kalau kita berdiskusi dengan orang yang beragama lain, akan mengurangi keimanan, ada larangan untuk tidak berbicara banyak kepada orang yang lain yang berbeda keyakinan, atau ekstrem nya, kita akan dikutuk Tuhan jika terus-terusan bergaul dengan orang yang mengakui Tuhan yang berbeda. Pathetic.

Sepertinya tulisan ini kurang pantas jika harus disudahi sampai disini, karena sejujurnya, saya masih butuh banyak perspektif untuk dituangkan sebelum tulisan ini dirampungkan. Percayalah bahwa bukan pembenaran yang saya cari dari apa yang saya tulis disini, saya hanya mencari sebuah media, yang dapat menumpahkan segala ide, sedikit keresahan, sekelumit beban pikiran, yang masih menggantung di otak saya, saya yakin bahwa diluar sana, masih banyak sudut pandang yang bisa ditemukan, untuk “dicoba” melihat dari arah itu, seiring dengan berjalannya wktu, saya yakin, saya bisa menemukannya, tidak usah terburu-buru, karena ada kepantasan untuk segala sesuatu kan?. Tidak ada maksud untuk memancing perdebatan, karena sejatinya tulisan ini adalah hanya sebuah kontemplasi dari perjalanan hidup, yang saya mulai sejak usia lima tahun, disebuah Yayasan Katholik, bernama Mardiyuana.

Terima kasih bagi Anda semua, terima kasih untuk kerelaan waktu Anda untuk membaca tulisan saya yang mungkin bagi Anda tidak bermakna sama sekali ini. Entah kapan lagi akan memulai menulis, tapi yang jelas, semua inspirasi saya dalam menulis, datang dari Anda, yang menemani runtutan garis waktu hidup saya, hingga sekarang.


...Jangan pernah merasa nyaman dan punya keinginan untuk hidup di negara yang berdasar dan berlandaskan Agama, tapi berkeinginanlah untuk hidup di negara yang berdasarkan pada keteraturan, dan keindahan...” (Arryanto, 2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun