Mohon tunggu...
Muhammad Wahyu Setiyadi
Muhammad Wahyu Setiyadi Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha

Saat ini bekerja sebagai Dosen di STKIP Al Amin Dompu-NTB. Aktif menulis artikel ilmiah serta sebagai editor dan reviewer Jurnal Nasional maupun Jurnal Nasional Terakreditasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menggali Etnopedagogi dalam Falsafah Nggahi Rawi Pahu: Pendidikan Karakter Berlandaskan Kearifan Lokal

17 November 2024   17:30 Diperbarui: 17 November 2024   17:31 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Identitas budaya sering kali berjuang untuk bertahan dalam perkembangan era globalisasi yang cepat. Hal ini menjadi perhatian di dunia pendidikan, di mana banyak pihak mulai melihat etnopedagogi sebagai "pendidikan berbasis nilai-nilai dan budaya lokal" sebagai solusi untuk memperkuat identitas dan karakter generasi muda. Falsafah Nggahi Rawi Pahu berasal dari budaya masyarakat Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan merupakan konsep etnopedagogi yang dapat diterapkan. Kabupaten Dompu, yang terletak di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dijuluki "Bumi Nggahi Rawi Pahu". Julukan ini diberikan untuk menggambarkan karakteristik budaya dan filosofi hidup masyarakat Dompu, yang sangat terikat dengan prinsip-prinsip luhur kearifan lokal. Berdasarkan prinsip-prinsip luhur, falsafah ini mengajarkan integritas, tanggung jawab, kerja keras, dan kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari.

Artikel ini akan membahas bagaimana penerapan falsafah Nggahi Rawi Pahu dalam pendidikan karakter dapat memperkuat moralitas dan identitas anak bangsa. Selain itu, akan diuraikan nilai-nilai karakter utama yang dapat ditanamkan melalui pendekatan etnopedagogi ini.

Falsafah Nggahi Rawi Pahu sebagai Landasan Pendidikan Karakter

Menurut Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005–2025, pembangunan karakter adalah salah satu program prioritas pemerintah dalam pembangunan nasional. Dengan mengeluarkan Perpres No. 87 Tahun 2017, tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), pemerintah juga meningkatkan peran sekolah dalam pembangunan karakter. Gerakan pendidikan yang disebut "Penguatan Pendidikan Karakter" bertujuan untuk meningkatkan karakter siswa melalui penggabungan olah hati (etika), olah rasa (estetik), olah pikir (literasi), dan olah raga (kinestetik) dengan dukungan publik dan kerja sama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Dengan menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila serta pengintegrasian kearifan lokal dalam pendidikan karakter, Penguatan Pendidikan Karakter dapat dicapai. Nilai-nilai ini termasuk kejujuran, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, cinta kebangsaan, penghargaan prestasi, komunikasi yang efektif, cinta damai, minat dalam membaca, perhatian terhadap lingkungan, perhatian terhadap masyarakat, dan tanggung jawab. Berdasara kan pedoman model penilaian karakter yang dikeluarkan oleh Kemendikbud tahun 2019, terdapat Lima nilai utama dari delapan belas nilai tersebut adalah religius, nasionalis, mandiri, integritas, dan gotong royong.

Nggahi Rawi Pahu secara harfiah berarti "memegang teguh apa yang telah diucapkan." Falsafah ini mengajarkan pentingnya memegang komitmen, menjaga kehormatan diri, serta menunjukkan integritas dalam perkataan dan tindakan. Di masyarakat Kabupaten Dompu-NTB, konsep ini menjadi landasan moral untuk membentuk kepribadian yang jujur, bertanggung jawab, dan berintegritas.

Nggahi rawi pahu adalah perwujudan dari sikap konsisten dalam hidup dan kehidupan ini. Sejalan dengan pesan tetua di Dompu menitipkan satu kalimat “Renta ba lera, kapoda ba ade, karawi ba weki”. Renta ba lera berarti diucapkan oleh lidah. Kapoda ba ade berarti dikuatkan oleh hati. Karawi ba weki berarti dikerjakan oleh raga. Hal itu berarti setiap yang diucapkan atau diikrarkan oleh lidah, kemudian dikuatkan oleh hati serta pikiran dan selanjutnya dikerjakan oleh tubuh. Inilah gambaran menyatukan kata dengan perbuatan.

Menurut kajian etnopedagogi, pendidikan berbasis kearifan lokal dapat membantu siswa menginternalisasi nilai-nilai yang relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Dengan mengadaptasi nilai-nilai lokal seperti falsafah Nggahi Rawi Pahu ke dalam kurikulum, siswa tidak hanya belajar pengetahuan akademik tetapi juga membangun karakter yang kuat dan berakar pada budaya mereka sendiri.

Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Falsafah Nggahi Rawi Pahu

Penerapan falsafah Nggahi Rawi Pahu dalam pendidikan karakter mencakup beberapa nilai inti yang relevan dengan pendidikan modern. Berikut adalah beberapa nilai utama yang diangkat dalam falsafah ini:

1.   Kejujuran

Nggahi Rawi Pahu mengajarkan pentingnya berkata dan berbuat dengan jujur. Nilai ini sangat relevan dalam pendidikan karakter karena kejujuran merupakan dasar dari integritas. Anak yang diajarkan untuk jujur akan tumbuh menjadi pribadi yang dipercaya oleh orang lain, yang sangat penting dalam kehidupan sosial dan profesional.

2.   Tanggung Jawab

Nilai tanggung jawab dalam falsafah Nggahi Rawi Pahu menekankan pentingnya menepati janji dan menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh. Ini menciptakan kedisiplinan dalam diri anak sehingga mereka tidak hanya mengejar prestasi akademik tetapi juga memahami pentingnya menyelesaikan setiap tanggung jawab dengan baik.

3.  Kerja Keras dan Ketekunan

Falsafah ini mengajarkan bahwa pencapaian hanya bisa diraih melalui kerja keras dan ketekunan. Ketika anak-anak diajarkan untuk berusaha dengan gigih, mereka akan lebih siap menghadapi tantangan dan kegagalan. Nilai ini juga menumbuhkan semangat tidak mudah menyerah dalam meraih tujuan hidup mereka.

4.  Kebersamaan dan Gotong Royong

Nggahi Rawi Pahu juga mengedepankan nilai kebersamaan dalam kehidupan sosial. Masyarakat Dompu-NTB dikenal dengan budaya gotong royong yang kuat. Pendidikan yang memasukkan nilai kebersamaan ini dapat membantu anak-anak memahami pentingnya bekerja sama dengan orang lain, menghargai perbedaan, dan saling membantu dalam kebaikan.

5.  Penghormatan pada Orang Lain

Di dalam falsafah Nggahi Rawi Pahu, penghormatan terhadap sesama, baik itu orang yang lebih tua, teman, maupun mereka yang berlatar belakang berbeda, adalah hal yang dijunjung tinggi. Mengajarkan anak-anak untuk saling menghormati dapat membentuk lingkungan yang harmonis dan meminimalkan konflik.

Penerapan Etnopedagogi dalam Sistem Pendidikan

Etnopedagogi berbasis falsafah Nggahi Rawi Pahu dapat diterapkan melalui berbagai pendekatan dalam kegiatan pendidikan formal maupun nonformal. Dalam konteks Kurikulum Merdeka yang berlaku saat ini, pendekatan etnopedagogi sangat relevan untuk mendukung pembelajaran berbasis proyek atau Project-Based Learning (PjBL), yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai budaya lokal.

Kurikulum Merdeka menekankan Profil Pelajar Pancasila sebagai landasan dalam pengembangan karakter siswa. Profil ini mencakup enam elemen utama, yaitu:

  1. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia.
  2. Berkebinekaan global.
  3. Bergotong royong.
  4. Mandiri.
  5. Bernalar kritis.
  6. Kreatif.

Falsafah Nggahi Rawi Pahu dapat secara langsung berkontribusi dalam penguatan elemen-elemen tersebut:

  • Beriman dan berakhlak mulia: Nilai kejujuran dan penghormatan dalam Nggahi Rawi Pahu mengajarkan siswa untuk menjunjung tinggi etika dan moralitas dalam setiap aspek kehidupan.
  • Bergotong royong: Tradisi kebersamaan dan kerja kolektif yang diusung falsafah ini sejalan dengan semangat gotong royong dalam Profil Pelajar Pancasila.
  • Mandiri: Ketekunan dan tanggung jawab yang ditekankan oleh Nggahi Rawi Pahu mendukung siswa untuk tumbuh menjadi individu yang percaya diri dan mandiri.

Penilaian Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Merdeka

Salah satu ciri khas Kurikulum Merdeka adalah adanya fleksibilitas dalam merancang pembelajaran dan penilaian. Penilaian pendidikan karakter dalam kurikulum ini tidak hanya dilakukan secara kuantitatif, tetapi juga kualitatif melalui pengamatan perilaku, catatan anekdot, serta evaluasi portofolio. Guru memiliki kebebasan untuk merancang alat ukur yang relevan dengan konteks lokal siswa, termasuk mengintegrasikan kearifan lokal seperti falsafah Nggahi Rawi Pahu dalam proses penilaian.

Sebagai contoh, guru dapat menggunakan indikator-indikator seperti berikut:

  1. Kejujuran: Apakah siswa menunjukkan konsistensi antara perkataan dan perbuatannya, baik dalam konteks akademik maupun sosial?
  2. Tanggung jawab: Apakah siswa menyelesaikan tugas dan memenuhi janjinya tepat waktu?
  3. Ketekunan: Bagaimana siswa menghadapi tantangan dalam pembelajaran, seperti tugas proyek berbasis budaya lokal?
  4. Kerja sama: Apakah siswa mampu bekerja dengan baik dalam kelompok, menunjukkan rasa saling menghormati, dan berkontribusi aktif dalam kegiatan gotong royong?
  5. Penghormatan terhadap budaya: Apakah siswa mampu mengapresiasi budaya lokal melalui partisipasi aktif dalam kegiatan berbasis kearifan lokal, seperti mempelajari cerita rakyat atau tradisi Kabupaten Dompu?

Pendekatan ini mendukung prinsip assessment as learning, di mana penilaian tidak hanya menjadi alat ukur hasil belajar tetapi juga proses pembelajaran itu sendiri. Dengan mengintegrasikan falsafah Nggahi Rawi Pahu, siswa tidak hanya dinilai dari segi kemampuan akademik tetapi juga dari seberapa jauh mereka mampu menginternalisasi dan menerapkan nilai-nilai karakter dalam kehidupan sehari-hari.

Penerapan falsafah Nggahi Rawi Pahu melalui etnopedagogi dapat menjadi pendekatan yang kuat untuk membangun karakter generasi muda Indonesia khususnya di Kabupaten Dompu yang berakar pada nilai-nilai lokal. Di tengah arus globalisasi yang cepat, menjaga dan menguatkan identitas budaya menjadi tugas penting agar karakter bangsa tetap kokoh. Dengan mengedepankan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, kerja keras, kebersamaan, dan penghormatan pada orang lain, falsafah ini diharapkan dapat menjadi pijakan moral yang kuat bagi generasi penerus bangsa. Menerapkan Nggahi Rawi Pahu dalam pendidikan bukan hanya tentang pelestarian budaya, tetapi juga tentang membentuk generasi yang mampu membawa perubahan positif dan memberikan kontribusi berarti bagi daerah, Indonesia dan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun